Bisnis.com, JAKARTA — Tata kelola sampah perlu diperbaiki dengan merevisi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Ketua Komisi XII DPR RI Bambang Patijaya mengatakan perbaikan tata kelola sampah sangat diperlukan karena Indonesia sudah memasuki darurat sampah dengan volume timbunan hingga 56,63 juta ton pada 2024.
"Perlu menyempurnakan regulasi terkait tata kelola sampah. Kita di Komisi XII sebenarnya mendorong revisi UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah," ujarnya dalam keterangan resmi dikutip Jumat (21/3/2025).
Adapun sebanyak 39,41% sampah terbuang ke sungai sehingga turut menjadi penyebab banjir besar seperti yang terjadi di Bekasi, Jawa Barat. Adapun sebesar 21,85% sampah tersebut dikelola di tempat pemrosesan akhir (TPA) dengan metode yang tidak lagi direkomendasikan penggunaannya. Hal ini karena sampah dibuang begitu saja yakni open dumping di 343 daerah.
Menurutnya, pengelolaan secara open dumping itu menyebabkan masalah lingkungan, seperti polusi udara, pencemaran air tanah hingga merusak ekosistem lokal.
Untuk memperbaiki tata kelola sampah, lanjutnya, perlu ada terobosan dalam aspek pembiayaan, yakni dengan mengalokasikan anggaran dari APBN.
Baca Juga
"Menjadikannya sebagai kebijakan mandatory spending pada alokasi anggaran APBN dan APBD perlu dipikirkan, sehingga ada perspektif yang lebih kuat memandang persoalan sampah," katanya.
Kemudian, pengelolaan dari aspek teknis dan infrastruktur. Secara teknis, permasalahannya terletak pada setiap tahap pengelolaan sampah dari hulu ke hilir mulai dari pemilihan sampah, pengangkutan sampah hingga penimbunan di TPA.
"Sampah yang telah dipilah di rumah tangga kemudian di tahap pengangkutan digabung hingga ke TPA. Kondisi ini mempersulit upaya daur ulang sampah, pengomposan dan pengonversian sampah ke energi listrik," ucapnya.
Dia menilai pengelolaan sampah harus meliputi pembangunan infrastruktur yang mumpuni dan disertai penggunaan teknologi yang ramah lingkungan.
"Tentu semua ini harus membutuhkan komitmen bersama dari semua stakeholder termasuk juga masyarakat. Kita harus melakukan transformasi perilaku keseharian dalam memandang sampah, sehingga dengan demikian kita dapat melakukan pengelolaan sampah secara baik, ramah lingkungan, dan juga memberi dampak ekonomi," tuturnya.
Menteri Lingkungan Hidup (LH) Hanif Faisol Nurofiq menuturkan pengelolaan lingkungan termasuk sampah, menjadi salah satu aspek penting dalam pencegahan bencana termasuk banjir yang terjadi baru-baru ini.
"Kami melihat bahwa pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) harus diperkuat dengan pendekatan berbasis ekosistem. Langkah-langkah seperti rehabilitasi kawasan hulu dan penegakan aturan terhadap alih fungsi lahan terus diprioritaskan," terangnya.
Menurutnya, terdapat urgensi penguatan kebijakan lingkungan untuk mitigasi bencana dan peningkatan tata kelola sampah secara berkelanjutan.
Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan mengatakan pemerintah untuk melebur tiga Peraturan Presiden (Perpres) menjadi satu aturan terkait pemanfaatan sampah menjadi listrik. Penggabungan itu diharapkan dapat menyederhanakan aturan selama ini, memotong proses agar perizinan dilakukan melalukan Kementerian ESDM yang berurusan langsung dengan PLN.
Aturan itu diharapkan juga dapat mengatasi isu biaya listrik dari PLTSa menjadi 19,20 sen per kilowatt hour (kWh) termasuk mengatasi isu tipping fee atau biaya lebih. Jumlah itu berada di atas penetapan tarif listrik dari PLTSa yang ditetapkan PLN yaitu 13,5 sen per kWh.
Diharapkan dengan hal itu dapat mendukung pembangunan PLTSa, termasuk di wilayah Jakarta.
"Kalau di jumlah Pak Gubernur jauh lebih mahal. Kalau di jumlah 13,5 sen dari tipping fee itu jatuhnya ada yang 22 sen, ada yang 28 sen. Tapi itu ngurusnya ruwet karena persetujuan DPR, persetujuan Bupati, Gubernur, rumit. Tapi kalau dijadikan satu dia (biayanya) bisa antara 18 sen sampai 20 sen, lebih simpel lebih mudah," ujarnya.