Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Lompatan Industri Baterai Global, Indonesia Kehilangan Momentum Industrialisasi?

Benarkah keterpurukan industri nikel Indonesia saat ini terjadi karena salah kelola industri?
Kendaraan listrik (EV) sedang diisi dayanya di jalan di Brussels, Belgia, pada hari Senin, 3 Maret 2025./ Bloomberg - Ksenia Kuleshova
Kendaraan listrik (EV) sedang diisi dayanya di jalan di Brussels, Belgia, pada hari Senin, 3 Maret 2025./ Bloomberg - Ksenia Kuleshova

Bisnis.com, JAKARTA – Indonesia, sebagai penghasil nikel terbesar dunia, berpotensi kehilangan momentum menjadi pusat produksi baterai kendaraan listrik (EV). Padahal, tren industri baterai global diperkirakan terus naik.

Promosi investasi dan strategi yang matang perlu dihadirkan untuk memastikan keberlanjutan hilirisasi nikel Tanah Air. 

Apalagi setelah terdengar kabar bahwa salah satu pabrik peleburan atau smelter nikel terbesar di Indonesia nyaris gulung tikar dan dinyatakan bangkrut. Ini menjadi alarm peringatan. 

Melansir Bloomberg, PT Gunbuster Nickel Industry (GNI), yang berafiliasi dengan raksasa baja tahan karat Jiangsu Delong Nickel Industry Co., telah memangkas produksi dan hampir menutup total, hanya beberapa bulan setelah perusahaan induknya di China bangkrut.

Bloomberg pun mencatat, bahwa keterpurukan industri nikel Indonesia terjadi karena "kesalahannya sendiri". Lonjakan produksi menyeret harga turun, dan isu kelanggan pasokan bahan baku memaksa sejumlah smelter memangkas produksi.

Meskipun Indonesia menghadapi tantangan besar dengan penurunan harga dan produksi nikel yang melambat, pemerintah terus berupaya memanfaatkan potensi besar nikel untuk mendorong industrialisasi baterai kendaraan listrik. 

Salah satunya adalah dengan menawarkan kerja sama kepada produsen kendaraan listrik global, seperti Tesla, BYD, Hyundai, hingga yang terbaru VinFast.

"Indonesia juga merupakan salah satu produsen nikel terbesar atau bahan baku baterai kendaraan listrik. [Kami] bersedia bekerja sama dengan VinFast," ujarnya di sela forum Vietnam-Indonesia High-Level Business Dialogue di Hotel Raffles, Jakarta Selatan pada Senin (10/3/2025).

Di sisi lain, banyak referensi yang menyebutkan bahwa tren baterai EV global tidak hanya terpaku pada jenis nickel manganese cobalt oxide (NMC). 

Merujuk data Energi Agensi Internasional (IEA) pada 2022, baterai NMC masih tetap menjadi kimia baterai yang dominan dengan pangsa pasar sebesar 60%, diikuti oleh lithium iron phosphate (LFP) dengan pangsa pasar sedikit di bawah 30%, dan nickel cobalt aluminium oxide (NCA) dengan pangsa sekitar 8%.

Adanya pergeseran industri baterai menuju baterai LFP menjadi tantangan untuk Indonesia sebagai produsen nikel terbesar dunia. 

LFP tidak memerlukan nikel sebanyak baterai berbasis nikel seperti NMC yang lebih banyak digunakan pada kendaraan listrik high-performance. Jika tren LFP terus berkembang, Indonesia harus bersiap untuk merubah strategi hilirisasi nikel agar tetap relevan dalam pasar baterai global.

Merujuk data IEA, baterai jenis LFP mencapai pangsa tertinggi dalam dekade terakhir. Tren ini terutama didorong oleh preferensi dari pabrikan mobil asal China. 

Pada 2022, sekitar 95% baterai LFP digunakan untuk kendaraan listrik ringan (LDV) yang diproduksi di China. Di antara produsen tersebut, BYD menyumbang sekitar 50% dari total permintaan baterai LFP. 

Sementara itu, Tesla juga mulai mengandalkan baterai LFP, dengan porsinya meningkat dari 20% pada 2021 menjadi 30% pada tahun 2022

Merujuk analisis Mckinsey, tren global menunjukkan bahwa LFP semakin diterima, terutama di pasar China, karena biaya produksi yang lebih rendah. 

Ke depan, LFP diperkirakan akan mendominasi pasar kendaraan listrik, dengan proyeksi pangsa pasar baterai L(M)FP (varian dari baterai LFP yang mengandung mangan) meningkat dari 11% pada 2020 menjadi 44% pada 2025.

Melihat kondisi ini, sepertinya Indonesia tidak bisa pongah karena memiliki potensi nikel melimpah. Mengingat, industri EV global terus mencari produk baterai dengan beragam mineral kritis dan kandungan kimia. 

Pasar Baterai Global

Upaya Indonesia mengambil posisi dalam rantai pasok industri EV global belum usai. Apalagi melihat tren pasar baterai global yang berkembang pesat seiring dengan lonjakan permintaan dan penurunan harga yang terus berlanjut. 

Melansir laporan terbaru IEA, pada 2024, penjualan mobil listrik naik 25% menjadi 17 juta unit, dan permintaan baterai tahunan melampaui 1 terawatt-jam (TWh) – sebuah pencapaian sejarah. 

Pada saat yang sama, harga rata-rata paket baterai untuk mobil listrik turun di bawah US$100 per kilowatt-jam, yang dianggap sebagai ambang batas penting untuk bersaing dengan model kendaraan konvensional dari segi biaya.

“Penurunan harga mineral baterai menjadi salah satu pendorong penting. Harga lithium, khususnya, telah turun lebih dari 85% sejak puncaknya pada 202,” tulis laporan IEA bertajuk The Battery Industry has Entered a New Phase.

Hanya saja, peningkatan produksi juga mendukung penurunan harga. IEA berpendapat, tren-tren ini menunjukkan bahwa industri baterai memasuki fase perkembangan yang baru. 

Saat ini, China memproduksi tiga perempat baterai yang dijual secara global. Pada tahun lalu, harga rata-rata baterai di China turun lebih cepat daripada di tempat lain di dunia, dengan penurunan hampir 30%. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper