Bisnis.com, JAKARTA — Pasar mobil listrik global menghadapi tekanan yang makin besar, seiring dengan mengemukanya laporan pemasok bahan baku baterai mengenai penurunan nilai aset dan biaya produksi yang ketat.
Perusahaan-perusahaan di Australia, negara pemasok bahan baku utama baterai, litium, memberikan sinyal ini. IGO Ltd. dan Mineral Resources Ltd. mengindikasikan potensi penurunan nilai aset, sementara Pilbara Minerals Ltd. mengumumkan upayanya untuk memangkas biaya produksi. Sementara itu, Liontown Resources Ltd. menyatakan harus menjual kembali sebagian material yang awalnya dialokasikan sebagai offtake untuk Ford Motor Co.
“Saya rasa tidak ada satu pun di dunia yang benar-benar menikmati margin besar atau menikmati periode saat ini,” ujar CEO IGO Ivan Vella dalam paparan di hadapan investor, dikutip dari Bloomberg, Kamis (31/7/2025).
Pasar litium global tercatat telah mengalami gejolak selama bertahun-tahun. Harga logam baterai ini sempat mencapai rekor tertinggi pada 2022, tetapi telah anjlok hampir 90% akibat parahnya pasokan berlebih.
Di sisi lain, pertumbuhan permintaan kendaraan listrik (electric vehicles/EV) yang melambat berpotensi memburuk imbas dari pencabutan insentif oleh pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Menyusul perkembangan tersebut, penjualan EV Ford anjlok pada kuartal kedua 2025 sehingga memaksa perusahaan merombak strategi bisnisnya.
“Lanskap EV telah berubah secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Kami melihat peluang untuk menempatkan bahan baku yang sebelumnya dialokasikan untuk Ford ke pelanggan lain yang menginginkan produk tersebut,” kata Chief Commercial Officer Liontown, Grant Donald, kepada investor pada Selasa.
Harga litium saat ini dinilai “tidak berkelanjutan”. Komoditas tersebut dinilai memerlukan insentif untuk pasokan baru demi memenuhi pertumbuhan permintaan dalam dekade mendatang, menurut Rio Tinto Group dalam presentasi laporan semesterannya.
Investor litium memang tengah mencermati situasi di China dalam sepekan terakhir, di tengah spekulasi pemangkasan produksi yang mendorong lonjakan harga berjangka dan kenaikan besar pada saham perusahaan litium China. Namun, belum ada bukti nyata pemangkasan produksi besar-besaran sejauh ini.
Harga litium karbonat (lithium carbonate) yang diperdagangkan di Guangzhou Futures Exchange sempat naik menyentuh batas atas 8% pada Jumat (25/7/2025), sehingga membuat kenaikan selama sepekan mencapai 14%.
Kenaikan harga tersebut membuat otoritas bursa setempat merilis peringatan guna mencegah perdagangan spekulatif. Harga pun terpantau tertahan pada perdagangan Senin (28/7/2025), tetapi harga saham produsen litium terpantau melesat. Sebagai contoh, harga saham Tianqi Lithium Corp. dan Chengxin Lithium Group Co. telah naik 25% di Bursa Shenzhen pada bulan ini.
Kenaikan harga litium dipicu oleh kekhawatiran bahwa pasokan akan berkurang karena prospek produksi yang suram. Di samping itu, pemerintah China berencana membatasi industri dengan kapasitas berlebih sebagai bagian dari kampanye untuk mengurangi kompleksitas ekonomi atau fenomena involution.
“Aksi spekulatif di tengah euforia pasar telah mendorong harga naik tajam,” ujar Robin Tisserand, kepala logam baterai di perusahaan pialang SCB Group, dikutip dari Bloomberg, Senin (28/7/2025).
Ia menyebutkan bahwa spekulasi tersebut telah menaikkan harga fisik spodumen (mineral silikat aluminium litium) dan menyebabkan volatilitas besar pada kontrak internasional yang diperdagangkan di CME Group.
Pekan lalu, produsen kendaraan listrik Jiangxi Special Electric Motor Co. melaporkan bahwa aktivitas produksi garam litium di fasilitas mereka di Yichun akan dihentikan selama 26 hari karena pertimbangan biaya dan perawatan.
Selain itu, perusahaan tambang litium Sinomine Resource Group Co. pada Juni 2025 mengumumkan bahwa proyek mereka di Jiangxi akan dihentikan selama enam bulan untuk penyesuaian teknologi.
Pusat produksi lainnya juga mendapat perhatian, dengan Zangge Mining Co. diperintahkan oleh otoritas di Provinsi Qinghai bulan lalu untuk menghentikan aktivitas penambangan ilegal.
“Meskipun dampak volumenya saat ini masih kecil, kekhawatirannya adalah apakah inspeksi terhadap izin tambang akan dijadikan alat untuk mengontrol pasokan, terutama dalam konteks kampanye anti-involution,” tulis Jefferies dalam catatan pada Jumat, sembari menyebut “ekspektasi penguatan inspeksi, yang jika diterapkan secara ketat, bisa memperketat pasar.”
Pembiayaan Kendaraan Listrik Tetap Kuat di Indonesia
Terlepas dari perkembangan terkini dalam rantai pasok global kendaraan listrik, pembiayaan untuk sektor tersebut terpantau tetap tinggi. Hal ini setidaknya tecermin dalam laporan teranyar PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) atau BCA.
Dalam laporan kinerja semester I/2025, BCA melaporkan pertumbuhan pembiayaan berkelanjutan (sustainable finance) sebesar 21,1% secara tahunan (year-on-year/YoY) menjadi Rp240 triliun, dibandingkan dengan Rp198 triliun pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Dari nilai tersebut, total outstanding untuk pembiayaan hijau menembus Rp103 triliun. Capaian ini merefleksikan pertumbuhan tahunan sebesar 34,6% dibandingkan dengan Rp77 triliun pada semester I/2024.
BCA turut memperinci total pembiayaan yang disalurkan ke sejumlah sektor hijau, di antaranya EV yang tumbuh 118% YoY menjadi Rp3,19 triliun. Kemudian outstanding untuk pinjaman terkait keberlanjutan (sustainability linked-loan/SLL) tumbuh 8% menjadi Rp2,62 triliun dan pembiayaan untuk energi terbarukan mencapai Rp4,2 triliun untuk mendukung pembangkit berkapasitas 214 megawatt (MW).
Sementara itu, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI) atau BNI telah menyalurkan pembiayaan hijau senilai Rp74 triliun sepanjang periode Januari–Juni 2025.
Direktur Risk Management BNI David Pirzada menyampaikan bahwa realisasi itu mencerminkan pertumbuhan lebih dari 20% selama empat tahun terakhir.
Secara terperinci, pembiayaan kategori pengelolaan sumber daya alam hayati dan penggunaan lahan yang berkelanjutan mendominasi penyaluran kredit hijau, dengan nilai Rp35,9 triliun.
Kemudian pembiayaan hijau untuk energi terbarukan sebesar Rp11,6 triliun; pembiayaan lain-lain yang mencakup Pengelolaan air dan air limbah yang berkelanjutan sebesar Rp22,9 triliun; dan pencegahan polusi Rp3,6 triliun.
BNI juga tercatat menyalurkan pembiayaan penguatan dan pemberdayaan sosial ekonomi senilai Rp111,2 triliun sepanjang semester I/2025. Hal ini membuat total portofolio keberlanjutan BNI menembus Rp185,2 triliun atau setara 24,3% dari total penyaluran kredit.