Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Ciska Tobing

Member of Indonesia Strategic Management Society (ISMS)

Lihat artikel saya lainnya

OPINI: Kebakaran Hutan, Sinyal Bahaya yang Tak Bisa Diabaikan

Peristiwa kebakaran hutan di California memberi pelajaran penting terhadap upaya yang mesti ditempuh setiap negara dalam penanganan krisis iklim.
Pemadam kebakaran menyemprotkan air untuk memadamkan api di wilayah Stamata, Yunani pada Minggu (30/6/2024). Suhu panas meningkatkan risiko kebakaran di Yunani dan berbagai belahan dunia./Bloomberg-Nick Paleologos
Pemadam kebakaran menyemprotkan air untuk memadamkan api di wilayah Stamata, Yunani pada Minggu (30/6/2024). Suhu panas meningkatkan risiko kebakaran di Yunani dan berbagai belahan dunia./Bloomberg-Nick Paleologos

Bisnis.com, JAKARTA — Awal tahun ini, publik dikejutkan dengan peristiwa kebakaran di California, Amerika Serikat. Palisades Fire, salah satu lokasi kebakaran terbesar yang pernah terjadi di dunia, telah melahap lebih dari 23.000 hektare lahan, meratakan 6.800 bangunan, dan merenggut 12 nyawa.

Di tempat lain juga di California, Eaton Fire tak kalah dahsyatnya—menghanguskan 14.000 hektare, 17 kematian orang, serta memaksa lebih 200.000 orang mengungsi.

Ironisnya, di tengah krisis tersebut, pemerintahan Presiden Donald Trump justru menarik diri dari Perjanjian Paris tak lama setelah resmi memimpin Amerika Serikat. Kebijakan AS itu dianggap demi keuntungan bisnis yang melemahkan upaya global mengatasi perubahan iklim dan menanggung risiko lebih banyak bagi kelangsungan hidup umat manusia. 

Kebakaran di California menjadi pengingat bahwa perubahan iklim bukan sekadar teori, tetapi krisis nyata di depan mata kita. Masalah tersebut terjadi di belahan dunia lain.

Pada 2023, Indonesia mengalami kebakaran besar menghanguskan hutan 1,16 juta hektare lahan, meningkat lima kali dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kabut asap menyelimuti kota besar, mengganggu saluran pernapasan jutaan orang dan kerugian ekonomi yang besar.

Kebakaran Hutan Kian Mengganas

Kebakaran hutan bukan sekadar fenomena kebetulan, tetapi hasil interaksi antara perubahan iklim, kebijakan ekonomi, dan praktik pengelolaan lahan sembarangan. Diperlukan pemahaman proses alamiah, serta keterkaitan semua faktor yang memengaruhi yang di antaranya mencakup, pertama, perubahan iklim membuat hutan lebih mudah terbakar.

Menurut penelitian Jones dkk. (2022) tentang “Global and Regional Trends and Drivers of Fire Under Climate Change”, perubahan iklim saat ini didorong aktivitas manusia, terutama peningkatan emisi gas rumah kaca.

Pembakaran bahan bakar fosil untuk listrik, transportasi, dan industri telah meningkatkan kadar karbon dioksida (CO₂) di atmosfer, menjebak panas, dan menaikkan suhu global.

Kegiatan manusia pada deforestasi dan ekspansi lahan pertanian mengurangi kemampuan alam menyerap karbon, sehingga mempercepat pemanasan global. Peternakan intensif juga menghasilkan gas metana (CH₄), yang memiliki daya pemanasan lebih tinggi daripada CO₂.

Dampaknya sudah terlihat jelas seperti musim kemarau makin panjang dan panas, hutan makin kering dan rentan terbakar, lalu suhu global terus meningkat, memicu lebih banyak cuaca ekstrem, dan pola hujan juga berubah, beberapa wilayah menjadi lebih kering dan rawan kebakaran.

Hal yang lebih mengkhawatirkan adalah adanya lingkaran umpan balik (feedback loop) berbahaya yaitu kebakaran hutan melepaskan lebih banyak karbon ke atmosfer, mempercepat pemanasan global dan meningkatkan risiko kebakaran di masa depan.

Kedua, pengelolaan lahan yang bermasalah. Banyak kebijakan pengelolaan lahan hanya berorientasi profit tanpa mempertimbangkan dampaknya di masa depan. Deforestasi besar-besaran sering kali meninggalkan lahan tidak terawat yang penuh dengan material mudah terbakar.

Di Indonesia, pembukaan lahan dengan metode tebang-bakar masih marak, meskipun secara resmi dilarang. Eksploitasi lahan gambut tanpa perlindungan yang memadai juga jadi bom waktu, sekali terbakar, api bisa menyala berminggu-minggu.

Di California, angin Santa Ana yang bertiup kencang mempercepat penyebaran api. Lalu, di Indonesia, kebakaran lahan gambut menghasilkan kabut asap yang bertahan lama dan bahkan melintasi batas negara.

Ketiga, faktor ekonomi dan industri. Inisiatif ekonomi saat ini terdorong untuk profit jangka pendek yang sering mengorbankan keberlanjutan kelestarian alam. Permintaan dagang global atas minyak sawit, kayu, dan komoditas pertanian mendorong pembukaan lahan baru yang agresif.

Banyak petani kecil tetap mengandalkan pembakaran sebagai cara termurah membuka lahan.  Perusahaan besar juga sering lepas tangan jika kebakaran terjadi di lahan pemasok kecil. Bila insentif ekonomi tidak diubah, akan terus mendorong praktik yang merusak lingkungan.

Bisnis dan Kebakaran Hutan: Antara Ancaman dan Peluang

Kebakaran hutan bukan sekadar isu lokal. Dampaknya besar karena bisa menghantam ekonomi global. Kebakaran hutan di Indonesia pada 2019 menyebabkan kerugian lebih dari US$16 miliar (Alisjahbana & Busch, 2017). Di California, kerugian mencapai US$25 miliar (Safford dkk., 2022). Kabut asap memperlambat arus transportasi, mengganggu produksi, dan biaya logistik naik.

Namun ada berita baik, saat ini dunia bisnis mulai menyadari pentingnya keberlanjutan (Giovannoni & Fabietti, 2014).

Lembaga Standar Keberlanjutan Internasional (ISSB) mengenalkan standar pelaporan lingkungan sehingga transparan seperti IFSR 1 dan IFSR 2. Perusahaan besar seperti Unilever dan Tesla telah membuktikan, bisnis hijau menguntungkan jangka panjang. Investor pun semakin selektif mengalihkan modal ke bisnis yang bertanggung jawab secara lingkungan.

Kebakaran hutan bukanlah kebetulan, melainkan bagian dari sistem kegiatan manusia. Perubahan iklim, kebijakan ekonomi, tata kelola lahan, tekanan industri; semuanya saling berhubungan.

Menurut Meadows (2008), cara paling efektif mengubah sistem kerja adalah menyesuaikan dengan aturan dan insentif yang memengaruhi pelakunya. Artinya, pemerintah perlu membuat kebijakan lebih tegas dan konsisten dengan penegakan hukum. Kemudian, perusahaan lebih serius menguasai praktik bisnis berkelanjutan, lalu investor mendorong transparansi yang lebih tinggi, dan masyarakat sadar memilih produk dan mendukung inisiatif ramah lingkungan.

Kebakaran hutan di California dan yang terjadi di Indonesia bukan sekadar berita musiman, tetapi peringatan keras tentang krisis iklim yang sudah berlangsung. Setiap hektare terbakar adalah pengingat untuk mencari solusi yang teratur dan konsisten, melibatkan semua: pemerintah, bisnis, investor, dan masyarakat.

Jika kita bertindak sekarang—dengan kebijakan yang matang, didukung inovasi teknologi, dan perbaikan perilaku—ada harapan mengendalikan krisis tersebut.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper