Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Prabowo Subianto meminta Kementerian Kehutanan mencabut Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) 18 perusahaan. Hal itu karena 18 perusahaan tersebut tak kunjung memanfaatkan izin pengelolaan meskipun telah terbit cukup lama.
Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengatakan 18 perusahaan itu tidak maksimal memanfaatkan izin dari pemerintah. Adapun 18 perusahaan tersebut mengelola 526.144 hektare lahan hutan yang tersebar mulai dari Aceh hingga Papua.
“Saya akan menerbitkan surat keputusan menteri untuk mencabut izin PBPH, perizinan berusaha pemanfaatan hutan, sebanyak 18 perusahaan dari Aceh sampai Papua ada. Luasnya total 526.144 hektare. Setengah juta hektare,” ujarnya dilansir Antara, Senin (3/2/2025).
Presiden Prabowo, lanjutnya, meminta hutan dimanfaatkan demi kesejahteraan rakyat. Hal ini karena perusahaan swasta yang telah diberikan izin pemanfaatan hutan tidak memaksimalkan izin tersebut. Adapun 18 perusahaan telah menerima PBPH cukup lama sejak tahun 1997, 1998, 2006 dan 2010.
Kementerian Kehutanan mengklaim telah menjalankan mekanisme sebelum pencabutan izin tersebut seperti mengingatkan hingga berkirim surat untuk menanyakan penggunaan izin yang diberikan. Kemudian kementerian juga telah memberikan peringatan kepada mereka.
“Kami punya kriteria untuk mekanisme memperingatkan, bersurat dicek kembali sampai akhirnya saya akan cabut izinnya setelah mendapatkan izin dari Pak Prabowo,” katanya.
Baca Juga
Kebijakan mencabut izin itu akan ditetapkan dalam peraturan menteri yang kemungkinan terbit pada Selasa (4/2/2025). Jika izin itu dicabut, maka area-area hutan yang dapat dimanfaatkan lahannya itu akan menjadi hutan-hutan negara sehingga bisa diterbitkan izin baru bia dibutuhkan.
“Izin diambil alih negara menjadi hutan-hutan negara yang nanti bisa kita terbitkan kembali izinnya apakah dikelola BUMN, Danantara,” ucapnya.
Menurutnya, hutan-hutan di Indonesia harus lestari dan menjadi paru-paru dunia. Meskipun demikian, pembangunan tetap harus berjalan dan hasil pengelolaannya ditujukan untuk kesejahteraan rakyat.
“Intinya kami di Kementerian Kehutanan mencoba mencari jalan tengah ya. Jalan tengah pembangunan kehutanan yang Pak Presiden tadi juga mengatakan hutan kita tetap harus lestari,” tutur Raja Juli.
Di sisi lain, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ART/BPN) Nusron Wahid menuturkan terdapat sebanyak 194 perusahaan pemilik Izin Usaha Perkebunan (IUP) kelapa sawit dengan luas lahan 1.081.022 hektare yang belum mengajukan hak atas tanah (HAT) per Januari 2025.
Penanganan terhadap 194 perusahaan ini akan ditangani langsung oleh Satuan Tugas (Satgas) Kelapa Sawit yang dipimpin langsung oleh Kementerian Pertahanan dan Kejaksaan Agung.
“Seluas 1,081 juta hektare ini sama sekali tidak daftar HAT dan bapak Presiden sudah membentuk Satgas Kelapa Sawit yang dipimpin oleh Bapak Menteri Pertahanan dan Wakilnya Pak Jaksa Agung, kami-kami sebagai anggota yang 194 ini akan kami serahkan kepada Satgas Kelapa Sawit,” ujarnya.
Menurutnya, sebanyak 194 perusahaan tersebut tidak memiliki niat baik untuk mengurus hak tanah. Dia menduga sejumlah perusahaan tersebut beroperasi dengan merambah hutan hak adat. Selain itu, hutan lindung yang ditanami sawit tanpa izin.
Berdasarkan data yang dimilikinya, sebanyak 537 perusahaan pemilik IUP kelapa sawit. Adapun rinciannya, sebanyak193 perusahaan telah menerbitkan HAT seluas 283.280,58 hektare, sedangkan 150 perusahaan lainnya berada dalam proses identifikasi dengan luas lahan 1.144.427 hektare.
“Yang sudah proses pengajuan izin ke kami, kami batasi sampai tanggal 3 Desember, itu ada 150 perusahaan kemudian luasnya 1,144 juta hektar posisinya dalam proses identifikasi untuk kita cocokan apakah ini nabrak hutan apa tidak,” katanya.
Nusron juga mengungkapkan terdapat sejumlah sertifikat hak milik (SHM) atau sertifikat hak guna usaha (SHGU) di atas lahan hutan. Namun demikian, pihaknya tak memberikan detail lebih lanjut terkait jumlah SHM atau SHGU di atas lahan hutan dan perusahaan mana saja yang memiliki lahan tersebut.
“Ada satu perusahaan atau tanah yang sudah disertifikatkan dalam bentuk SHM atau SHGU. Dalam perjalanan tiba-tiba muncul itu masuk kawasan hutan. Sebaliknya, ada juga yang petanya hutan tetapi petugas kita menerbitkan sertifikat,” ucapnya.