Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah daerah perlu mengalokasikan anggaran pengelolaan sampah sebesar 3% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Hal ini guna memaksimalkan upaya pengurangan sampah.
Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Novrizal Tahar mengatakan selama ini rerata anggaran yang dialokasikan pemerintah daerah dalam pengelolaan sampah hanya 0,6% dari total APBD. Hal ini yang menyebabkan belum optimalnya pengelolaan sampah di sejumlah daerah.
Padahal, berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, pembiayaan bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah.
“Secara empirik anggaran pengelolaan sampah yang baik itu, itu 3% dari APBD. Artinya itu harus menuju ke sana secara struktural anggaran di daerah,” ujarnya dilansir Antara, Senin (3/2/2025).
Selain itu, pengelolaan sampah juga masih menghadapi isu kultural di mana belum menjadi praktik yang dilakukan sebagian besar masyarakat. Padahal, mayoritas sampah yang dihasilkan dapat diselesaikan di rumah.
Hal itu dilakukan dengan membuat kompos dari sisa makanan yang menjadi penyumbang terbesar komposisi timbulan sampah nasional. Menurutnya, perubahan perilaku masyarakat, selain juga terkait anggaran, akan mengoptimalkan upaya pengelolaan sampah di daerahnya.
Baca Juga
Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), jumlah timbulan sampah pada 2023 dari 375 kabupaten/kota mencapai 40,1 juta ton. Dari jumlah timbulan sampah tersebut, sampah sisa makanan mengisi 39,62% atau 15,9 juta ton dari jumlah itu, diikuti sampah plastik sebesar 19,15% atau 7,6 juta ton.
“Pengelolaan sampah ini perlu didorong dari hulu dimana setiap RT, setiap RW harus ada bank sampah. Kemudian hal ini harus secara simultan kita lakukan juga dengan pendekatan struktural tadi,” katanya.
Novrizal meminta pemerintah daerah segera memperbaiki pengelolaan sampah di wilayahnya, termasuk Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) yang masih melakukan pembuangan terbuka atau open dumping karena terdapat potensi pidana.
Kementerian Lingkungan Hidup telah melakukan pengawasan terhadap 343 TPA yang terindikasi masih melakukan open dumping dan terdapat potensi sanksi paksaan pemerintah terhadap pengelolanya. Pasalnya, seluruh TPA di Indonesia tidak ada lagi yang melakukan open dumping pada 2026.
TPA open dumping sendiri memiliki dampak kepada lingkungan mulai dari pencemaran air lindi sampai dengan bocornya gas metana yang dapat menimbulkan kebakaran di TPA.
“Jadi diharapkan semua yang sekarang menjadi pasien saksi administrasi segera harus sembuh. Kalau tidak sembuh, ya mungkin bisa ditingkatkan persoalannya, tidak dari saksi administrasi lagi. Mungkin menjadi persoalan pidana,” ucapnya.
Dia mendorong agar pemerintah daerah, baik pihak legislatif maupun eksekutif, untuk berkolaborasi dalam memperbaiki urusan pengelolaan sampah di wilayah masing-masing.
Menurutnya, upaya pengelolaan sampah bukan hanya tanggung jawab kepala dinas yang menaungi isu sampah di pemerintah daerah tetapi juga pemimpin daerah dan anggota legislatif yang baru terpilih. Hal ini termasuk terkait anggaran yang kerap menjadi salah satu isu dalam pengelolaan sampah di daerah.
“Ada komitmen keberpihakan sehingga budget alokasi buat pemerintah daerah untuk sembuh itu ada. Kalau enggak sembuh nanti persoalannya meningkat menjadi persoalan pidana,” tutur Novrizal.