Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia memastikan pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara di Indonesia tidak akan menyedot pendanaan dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Sebaliknya, pemerintah menunggu realisasi pembiayaan dari lembaga donor untuk mengeksekusi upaya transisi energi tersebut.
Bahlil mengemukakan bahwa komitmen pembiayaan program transisi energi, termasuk Just Energy Transition Partnership (JETP), tak kunjung terealisasi sampai saat ini. Dalam kemitraan tersebut, inisiatif iklim yang dipimpin Jepang dan Amerika Serikat berkomitmen memobilisasi investasi senilai US$20 miliar atau sekitar Rp300 triliun dari publik dan swasta untuk mendukung transisi energi Indonesia.
“Di janjimu [JETP] ada lembaga donor yang membiayai, mana ada? Sampai sekarang belum ada. Nol. Kami mau [pensiun dini PLTU], tetapi ada uangnya dulu,” ujar Bahlil dalam acara bertajuk Mengakselerasi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Tantangan dan Peluang di Era Baru di Jakarta, Kamis (30/1/2025) dikutip dari Antara.
Bahlil menyatakan Indonesia tidak akan mengeksekusi penghentian operasional PLTU apabila pembiayaan dari lembaga donor belum diberikan kepada Indonesia. Hal ini tak lepas dari kebutuhan untuk menjamin pasokan energi yang aman di dalam negeri tanpa membebani kas negara.
“Masa kita harus memaksa dana APBN atau PLN membuat bon [surat utang] baru lagi untuk membiayai itu? Kalau tidak ada duitnya, sorry, bos, kami harus memproteksi kebutuhan dalam negeri dulu,” ucap Bahlil.
Dalam kesempatan terpisah, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi mengatakan bahwa rencana pensiun dini PLTU masih perlu dikaji. Selain itu, peta jalan pensiun dini PLTU juga masih disusun dengan pendampingan oleh Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun).
Baca Juga
Eniya juga mengemukakan bahwa pensiun dini PLTU memerlukan pendanaan yang memadai.
“Pendanaannya ini kan harus kita pastikan full package. Kalau full package itu sampai US$4,8 miliar. Nah, US$4,8 miliar ini harus tertulis, harus di depan,” ucap Eniya.