Bisnis.com, JAKARTA — Amerika Serikat dipastikan akan keluar dari kesepakatan iklim Perjanjian Paris (Paris Agreement) pada 27 Januari 2026, setelah Sekretaris Jenderal Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres menerima notifikasi pengunduran diri resmi dari pemerintahan baru Presiden Donald Trump.
Keputusan untuk hengkang dari Perjanjian Paris makin menjauhkan AS dari upaya pembatasan pemanasan global. Trump yang menilai perubahan iklim sebagai hoaks juga menyerukan penghentian izin baru untuk proyek listrik bertenaga angin maupun surya. Sebaliknya, dia mengumumkan berbagai kebijakan yang mendukung peningkatan kapasitas energi fosil.
Tak sampai di situ, Trump memutuskan menghentikan penyaluran bantuan iklim internasional dengan nilai lebih dari US$11 miliar. Dia juga menghapus subsidi energi bersih di dalam negeri.
American Clean Power Association menyoroti kebijakan pro fosil Trump sebagai bentuk pembatasan terhadap pengembangan energi hijau. Mereka juga menilai ketergantungan pada energi fosil dapat merugikan konsumen.
“Langkah ini bisa memicu kegagalan dalam memenuhi kebutuhan listrik yang terus meningkat,” kata mereka sebagaimana dilaporkan Bloomberg.
Namun balik arah Trump di kebijakan terkait iklim dinilai tak akan langsung berimpak signifikan. Apalagi transisi energi AS telah ditempuh selama bertahun-tahun.
Citigroup Inc. dalam analisisnya memandang transisi energi akan terus berlanjut dan bahkan berkembang lebih jauh. Mereka menyebutkan kebijakan Trump tidak akan mengubah fakta bahwa masih ada "alasan kuat" untuk beralih dari bahan bakar fosil.
"Energi bersih lebih murah, lebih tersedia, dan lebih efisien. Bagi para pendukung transisi energi bersih, kekuatan ekonomi akan tetap menang,” tulis Citigroup.
Kebijakan Trump juga diperkirakan tidak banyak mengubah aliran investasi untuk mendanai proyek energi bersih.
Christian Kleboth, kepala mobilisasi utang di European Bank for Reconstruction and Development yang berbasis di London, mengatakan bahwa permintaan pendanaan untuk energi bersih tetap tinggi di Eropa, Asia Tengah, dan kawasan Mediterania.
"Banyak negara sangat bergantung pada impor bahan bakar fosil, dan hal itu sangat disadari oleh negara-negara serta klien kami. Itulah mengapa mereka sangat ingin berinvestasi dalam energi terbarukan,"katanya.
Kleboth juga mengatakan bahwa sektor swasta di pasar tersebut telah berinvestasi sangat besar dalam energi terbarukan. Tren itu dia perkirakan tidak akan banyak berubah dan justru berpotensi meningkat.
Indonesia Tak Perlu Khawatir
Keputusan Trump untuk menghentikan pendanaan iklim internasional AS sempat menimbulkan pertanyaan mengenai nasib proyek-proyek ketahanan iklim dan energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia, tak terkecuali dalam skema Just Energy Transition Partnership (JETP).
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengemukakan Indonesia seharusnya mulai berfokus pada sponsor pendanaan transisi energi potensial lain, salah satunya China. Negara ekonomi terbesar kedua itu tercatat memiliki kapasitas EBT terbesar di dunia.
China bahkan memecahkan rekor penambahan kapasitas EBT pada 2024. Hal ini dicapai di tengah upaya transisi energi China yang masif dan perubahan arah kebijakan iklim ASi bawah pemerintahan Presiden Donald Trump.
Kapasitas energi terbarukan bertenaga surya China bertambah 277 gigawatt (GW) sepanjang 2024, menurut laporan Badan Energi Nasional (National Energy Administration/NEA) pada Selasa (21/1/2025). Tambahan itu melampaui rekor tahun sebelumnya yang mencapai 217 GW.
Badan Energi Nasional juga menyebutkan bahwa China berhasil menambah kapasitas energi angin sebesar 80 GW pada 2024. Instalasi energi terbarukan tersebut sekaligus menandai dicapainya bauran energi terbarukan China yang lebih cepat dari target 2030.
“China adalah salah satu negara yang produktif meningkatkan bauran energ terbarukan, dengan kapasitas panel surya mencapai 800 GW. Kenapa kita tidak minta teknologi dari sana? Seharusnya investasi dari China sejalan dengan dekarbonisasi Indonesia,” kata Bhima dalam Bisnis Indonesia Forum, Kamis (23/1/2025).
Di sisi lain, data Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat bahwa realisasi investasi pada proyek EBT cenderung stagnan di kisaran US$1,4 miliar hingga US$1,7 miliar dalam kurun 2019-2024. Investasi sektor EBTKE sempat mencapai level tertinggi di 2019 dengan nilai US$1,7 miliar, kemudian anjlok menjadi US$1,4 miliar pada 2020.
Realisasi investasi kemudian mencapai US$1,6 miliar pada 2021 dan 2022, tetapi kembali turun menjadi US$1,5 miliar, masing-masing pada 2023 dan 2024.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral ESDM Bahlil Lahadalia mengakui bahwa pengembangan EBT di Indonesia diadang ketidakpastian dengan keputusan Presiden AS Donald Trump keluar dari Perjanjian Paris.
“Presiden Amerika baru terpilih langsung mundur barang ini? Mundur daripada Paris Agreement padahal salah satu yang mempelopori. Dia yang memulai, tapi engkau juga yang mengakhiri. Nah, kalau otaknya, kalau pemikirnya, negara yang memikirkan ini aja mundur, masa kita yang follower ini mau masuk pada jurang itu?” tuturnya.
Dalam hal ini, Bahlil mengakui bahwa pengembangan EBT membutuhkan ongkos yang lebih besar daripada pemanfaatan energi fosil dengan emisi karbon tinggi.
Bahlil menyebut, Indonesia dihadapkan pada posisi yang sangat dilematis di tengah sentimen balik arah AS dari komitmen iklim dan transisi energi. Namun, dia mengatakan bahwa Presiden Prabowo Subianto telah memberinya instruksi untuk mencapai kedaulatan energi.
Untuk mencapai tujuan tersebut, dia mengatakan Indonesia tidak bisa langsung beralih dari energi fosil ke sumber terbarukan. Dia mengatakan perhitungan potensi energi hijau yang tersedia, baik dari air, surya, panas bumi, dan angin terus berlanjut, terutama dalam hal kapasitas transmisi.
Untuk mendorong EBT, Bahlil mengungkap akan ada dua konsep yang dilakukan ke depannya yakni terkait pembangunan alat transmisi sebagai infrastruktur distribusi energi, serta nilai keekonomian dan tingkat cadangan bahan baku EBT nasional.
Pada akhirnya, tantangan terbesar transisi energi di Indonesia tetap berasal dari kendala pendanaan. Terlebih dengan posisi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara sebagai pemasok terbesar listrik ke seantero negeri. Menyuntik mati PLTU dan sepenuhnya mengandalkan energi terbarukan, nyatanya bukan perkara murah bagi pemerintah.