Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah diminta memperbaiki tata kelola sektor kehutanan untuk mencegah terjadinya deforestasi yang semakin meluas.
Pelaksana Tugas Direktur Eksekutif Independent Forest Monitoring (IFM) Fund Deden Pramudiana mengatakan berdasarkan pemantauan IFM terdapat indikasi pembalakan liar dan perambahan kawasan hutan oleh Pemegang Hak Atas Tanah (PHAT) di Provinsi Aceh dan Kalimantan Tengah.
Selain itu, terdapat indikasi ketidakpatuhan pemegang izin pemanfaatan kayu di Papua Barat. Indikasi ketidaksesuaian pengamanan hutan dan konflik terhadap implementasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) di Provinsi Riau dan Kalimantan Utara. Lalu juga terdapat indikasi pemanfaatan kayu ilegal pada industri hilir di Provinsi Jawa Timur.
“Kami memantau 600.000 hektare dalam kurun waktu 2 tahun. Jadi memang pemerintah harus memperbaiki tata kelola yang ada,” ujarnya, dikutip Rabu (22/1/2025).
Dia berharap pemerintah dapat menindak tegas perusahaan yang melanggar izin pemanfaatan hutan. Pemerintah diharapkan mampu menghadirkan perlindungan hukum bagi pemantau independen kehutanan dan jaminan keamanan dalam melakukan pemantauan, serta pencegahan diskriminasi dan intimidasi.
Dia mencontohkan terdapat kawasan hutan di Riau butuh pengawasan pemerintah karena di lokasi tersebut mulai ditanami kelapa sawit. Padahal, area tersebut termasuk habitat asli tanaman yang didominasi jenis akasia dan eucalyptus.
Baca Juga
Area yang menjadi perkebunan sawit masuk dalam kategori hutan bernilai konservasi tinggi atau high conservation value/HCV. Kawasan tersebut jika telah rampung dilakukan pembersihan lahan (land clearing) kemudian ditanami sawit sehingga bisa menjadi pelanggaran izin yang dapat segera ditindak oleh pihak berwenang.
“Lahan sawit di Riau walaupun tidak luas, total area konsesi itu memang tidak mencapai 50% area kebun sawit,” katanya.
Menurut Deden, Kawasan tersebut pun masih minim pengawasan, bahkan tapal batas yang menandakan sebagai area konsesi tidak ditemukan. Hal ini bisa menyulut pembukaan lahan ilegal oleh masyarakat hingga pembalakan hutan liar karena ketidaktahuan publik setempat ihwal status hutan.
“Pemerintah memperketat pengawasan dan pengamanan di kawasan hutan dan menindak tegas pelanggar aturan, serta soal pembalakan liar yang diharapkan dapat dientaskan serta perusahaan yang melanggar izin dapat ditindak dengan tegas,” ucapnya.
Dia meminta pemerintah mempertimbangkan rencana pemanfaatan 20 juta hektare lahan hutan. Terlebih, Indonesia juga memiliki target pengurangan emisi karbon atau nol emisi karbon (net zero emisision/NZE) pada 2060 sehingga membutuhkan lebih banyak lahan hijau seperti hutan sebagai penghasil oksigen serta menyerap gas karbon dioksida ekuivalen (CO2e).
Pemerintah Indonesia meningkatkan transparansi data dalam pengelolaan hutan termasuk data soal lahan kritis dan lahan yang bukan termasuk hutan.
“Pemanfaatan hutan untuk ketahanan pangan ini perlu dilihat apakah menggunakan lahan milik masyarakat apa tidak,” tutur Deden.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Papua Maikel Primus Peuki menuturkan sejak awal tahun 2000-an, Papua menjadi target pembangunan perusahaan kelapa sawit dan hak pengusahaan hutan (HPH) menggantikan Sumatra dan Kalimantan yang telah mengalami deforestasi besar-besaran.
Pembangunan tanpa prinsip free, prior, and informed consent (FPIC) ini menyebabkan kerusakan hutan adat, pelanggaran HAM, serta penghilangan hak hidup masyarakat asli Papua.
“Di Kabupaten Jayapura, deforestasi merugikan masyarakat adat suku Namblong dan Orya di Lembah Grime Nawa, termasuk kampung Buasom, Sawesuma, Beneik, dan lainnya,” ujarnya.
Menurutnya, ruang kelola masyarakat seperti area berkebun dan berburu dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit akibat aktivitas perusahaan pengolah kayu.
Oleh karena itu pemerintah diminta meninjau tahunan terhadap izin usaha khususnya sektor kehutanan. Pemerintah daerah kabupaten dan provinsi segera meninjau kembali izin yang sudah ada serta mencabut izin perusahaan perusak lingkungan.
“Mendorong penerbitan surat keputusan hutan adat dan penguatan kemitraan kehutanan,” kata Maikel.