Bisnis.com, JAKARTA – Asia Tenggara mengemuka sebagai pusat perdagangan kredit karbon internasional. Hal ini makin mempertegas posisi pentingnya dalam upaya pengurangan emisi untuk menangkal dampak perubahan iklim.
Riset BloombergNEF memperlihatkan bahwa lima pasar Asia Tenggara, yakni Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand dan Vietnam, telah memasok 115,3 juta CO2 ekuivalen kredit karbon dalam satu dekade terakhir. Volume ini setara dengan 9,5% dari total pasokan global.
Per 5 Desember 2024, kredit karbon dari Asia Tenggara yang bisa diperdagangkan secara internasional mencapai 14,3 juta ton. Vietnam menempati peringkat pertama sebagai pemasok utama dengan volume 8,1 juta ton, sementara Malaysia di peringkat kedua sebanyak 4,3 juta ton CO2 ekuivalen dan Indonesia sebanyak 1,3 juta ton CO2 ekuivalen.
Komposisi pasokan pada 2024 berubah signifikan dibandingkan dengan 2022. Saat itu, Indonesia memimpin dengan pasokan kredit karbon sebanyak 12,9 juta ton CO2 ekuivalen, sementara Vietnam sebanyak 1,9 juta ton.
BloombergNEF turut mencatat bahwa 10 pembeli terbesar kredit karbon Asia Tenggara mengakuisisi 21,5% dari total yang ditawarkan. Kredit karbon yang dibeli itu dipakai para pembeli untuk menambal (offset) produksi emisi karbon yang menembus 24,8 juta ton CO2 ekuivalen.
“Mayoritas pembeli adalah korporasi besar dari Eropa dan Amerika Utara. Mereka menggunakan kredit karbon ini untuk memenuhi komitmen iklim mereka,” tulis BloombergNEF.
Baca Juga
Perusahaan minyak asal Inggris Shell Plc tercatat membeli 8,51 juta ton kredit karbon yang ditawarkan Asia Tenggara dalam kurun 2015-2024. Volkswagen AG dan maskapai Delta Air Lines Inc. menyusul dengan volume masing-masing sebesar 5,8 juta ton 2,3 juta ton CO2 ekuivalen.
Peran krusial Asia Tenggara sebagai pemasok kredit karbon tak terlepas dari potensi besar wilayah ini dalam pengurangan emisi berbasis alam. Kredit karbon di Asia Tenggara dihasilkan dari proyek-proyek pengurangan emisi, seperti pencegahan deforestasi atau reboisasi.
Jika potensi pengurangan emisi berbasis alam ini dimaksimalkan sepenuhnya, lima ekonomi Asia Tenggara ini dapat menghasilkan setidaknya 20,4 miliar kredit antara 2025 dan 2050. Indonesia berpotensi menjadi pemasok terbesar dengan peluang penerbitan kredit karbon menembus 13,4 miliar ton CO2 ekuivalen.
“Dengan menjaga pasokan kredit berkualitas tinggi yang andal, kawasan ini dapat menarik minat pembeli internasional dan mewujudkan aspirasinya untuk menjadi pusat perdagangan karbon dunia,” lanjut BloombergNEF.
Perdagangan karbon di Asia Tenggara berlangsung di tingkat domestik dan global. Kredit yang diperdagangkan secara lokal biasanya diverifikasi oleh standar karbon nasional, sementara kredit internasional terdaftar dalam empat registri utama yaitu Verra, Gold Standard, American Carbon Registry, dan Climate Action Reserve. BloombergNEF mencatat kedua pasar ini perlu saling melengkapi untuk memastikan Asia Tenggara mencapai potensinya sebagai kekuatan besar dalam perdagangan karbon.
Peluang pasar karbon yang lebih luas ini tampaknya disadari betul oleh negara-negara di kawasan ini. Indonesia berencana membuka keran perdagangan karbonnya untuk pembeli internasional mulai 20 Januari 2025. Sementara itu, Thailand berencana membuka bursa karbon baru untuk meningkatkan likuiditas pasarnya dan mengerek harga.