Bisnis.com, JAKARTA — Para pengembang energi di China kini beramai-ramai mengalihkan investasi mereka ke proyek energi terbarukan berbasis tenaga angin, seiring dengan harga listrik angin yang kini lebih kompetitif dibandingkan tenaga surya di pasar spot.
Seiring dengan percepatan pengembangan pasar spot tahun ini, persaingan untuk memperoleh hak pengembangan proyek tenaga angin diperkirakan akan makin ketat di lebih banyak provinsi, menurut laporan Bloomberg.
Harga riil listrik dari tenaga angin pada 2024 tercatat 35% lebih tinggi dibandingkan tenaga surya di empat pasar spot provinsi yang telah resmi beroperasi, yakni Shanxi, Shandong, Gansu, dan Mongolia Dalam bagian barat.
Meskipun porsi pembangkitan dari tenaga angin dan surya sama-sama meningkat, harga listrik tenaga angin mengalami penurunan kurang dari setengah tingkat penurunan harga tenaga surya antara 2023 dan 2024.
Keunggulan harga yang menonjol ini mendorong lonjakan minat terhadap proyek tenaga angin. Ketua Huaneng Renewables, salah satu pengembang energi terbarukan utama di China, menyatakan dalam buletin internal bahwa perusahaan akan memprioritaskan pengembangan tenaga angin pada 2025.
Perbedaan harga antara angin dan surya sebagian besar disebabkan oleh karakteristik output masing-masing. Pembangkitan listrik tenaga surya mencapai puncak pada tengah hari dan seringkali menyebabkan pasokan berlebih (oversupply), sehingga memicu penurunan harga di pasar.
Baca Juga
Sebaliknya, tenaga angin cenderung menghasilkan listrik secara lebih merata sepanjang siang dan malam. Hal ini memungkinkan penangkapan harga yang lebih tinggi pada jam-jam di luar puncak ketika matahari tidak bersinar dan pasokan listrik menipis.
Dengan sebagian besar provinsi bersiap untuk meluncurkan operasi pasar spot berkelanjutan sebelum akhir tahun ini, kesenjangan harga antara dua teknologi tersebut diprediksi akan makin melebar. Hal ini berpotensi membuat tenaga angin menjadi opsi yang makin menarik bagi para pengembang.