Bisnis.com, JAKARTA – Perkebunan dan pengolahan sawit menjadi salah satu sektor yang paling disorot pada awal 2025. Pasokan yang turun dari wilayah produsen utama, kebijakan bauran biodiesel berbasis minyak sawit, hingga pernyataan kontroversial petinggi pemerintah Indonesia mewarnai dinamika minyak nabati penyumbang devisa tersebut.
Tepat pada pengujung tahun, 30 Desember 2024, Presiden Prabowo Subianto menyerukan perluasan area tanam sawit untuk menjamin pasokan bahan baku minyak goreng tersebut ke pasar internasional.
Prabowo bahkan meminta jajarannya tidak mengkhawatirkan ancaman dari negara asing soal tuduhan deforestasi yang kerap disematkan ke perkebunan kelapa sawit. Dia mengatakan Indonesia memiliki kedaulatan penuh atas penggunaan sumber daya alamnya dan harus mampu menjelaskan bahwa kebijakan pengelolaan sawit tetap mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan.
“Tidak usah takut apa itu namanya membahayakan, deforestation. Ya namanya kelapa sawit ya pohon. Iya kan? boleh tidak? Kelapa sawit itu pohon ada daunnya kan. Ya dia keluarkan dia menyerap karbon dioksida. Dari mana kita kok dituduh, yang mboten-mboten aja orang-orang itu,” kata Prabowo kala itu.
Tak lama berselang, giliran Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni yang melontarkan pernyataan mengejutkan. Dia mengatakan bahwa pemerintah memiliki rencana untuk memanfaatkan cadangan 20 juta hektare hutan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan energi.
"Kami sudah mengidentifikasi 20 juta hektare hutan yang bisa dimanfaatkan untuk cadangan pangan, energi, dan air," katanya setelah rapat terbatas di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (31/12/2024), dikutip Antara.
Meski Menhut telah membantah pemanfaatan 20 juta hektare merupakan deforestasi, tetapi sinyal bahwa area yang setara dua kali pulau Jawa itu akan dimanfaatkan untuk perkebunan sawit tampak jelas.
Dia secara spesifik menjelaskan bahwa program pemanfaatan hutan merupakan dukungan langsung untuk Kementerian Pertanian dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dua entitas yang memiliki otoritas pada pengembangan sektor sawit.
Selain itu, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia juga kembali menegaskan bahwa program bauran biodiesel berbasis sawit sebanyak 50% atau B50 akan dimulai pada 2026, hanya berjeda setahun sejak pemerintah mengimplementasikan B40. Artinya, kebutuhan sawit untuk bauran energi bakal makin tinggi.
Pergerakan Emiten Sawit
Di tengah beragam sentimen awal tahun ini, mayoritas saham-saham perkebunan sawit tampak bergerak di teritorial positif.
Sebut saja emiten sawit Grup Salim PT PP London Sumatera Indonesia Tbk. (LSIP) dan PT Salim Ivomas Pratama Tbk. (SIMP) yang kompak memperlihatkan kenaikan harga pada dua pekan pertama 2025. Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI) per 13 Januari 2025, harga LSIP telah terapresiasi 4,62% year to date (ytd) ke level Rp1.020 per lembar, sementara SIMP naik 1,59% ke Rp384.
Saham produsen CPO Grup Sinar Mas PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk. (SMAR) juga menguat 3,35% secara ytd ke banderol harga Rp3.700 per lembarnya. Di sisi lain, emiten Grup Astra PT Astra Agro Lestari Tbk. (AALI) terkoreksi 2,03% ytd ke harga Rp6.025.
Adapun emiten besutan TP Rachmat PT Triputra Agro Persada Tbk. (TAPG) terpantau telah terapresiasi 7,38% sepanjang 2025 dan bertengger di harga Rp800 per saham.
Tren ini terjadi di tengah perkembangan harga minyak sawit yang masih tinggi di pasar internasional. Berdasarkan data Bloomberg, harga CPO di Bursa Derivatif Malaysia pada 13 Januari 2025 untuk kontrak Maret 2025 berada di level 4.504 ringgit per ton. Harga tersebut merefleksikan kenaikan 35,02% dalam setahun terakhir.
Sementara itu, riset yang dipublikasikan MIDF yang berbasis di Malaysia menyebutkan bahwa harga CPO bakal tetap tinggi dan berpotensi naik pada kuartal II/2025.
Pada akhir Desember 2024, harga CPO ditutup di level 5.001 per ton atau naik 2,2% dengan rata-rata harga naik 2,2% secara bulanan di tengah kehawatiran pasokan yang turun.
Memasuki Januari 2025, pemulihan produksi lokal diperkirakan melambat di tengah tingkat stok yang rendah, ditambah dengan implementasi B40 di Indonesia yang belum berjalan penuh. MIDF mengestimasi harga CPO akan stabil di 4.815 per ton pada Januari 2024 atau turun 6,0% secara bulanan.
“Namun, penting untuk dicatat bahwa pertumbuhan produksi minyak sawit yang melambat di Malaysia dan Indonesia, serta potensi larangan ekspor akibat fenomena La Niña dan masa istirahat biologis pohon, dapat menjadi risiko bagi ketersediaan pasokan pada kuartal pertama dan kedua 2025,” tulis MIDF.
MIDF memperkirakan kondisi ini dapat menciptakan tren positif untuk harga CPO, dengan potensi kenaikan harga dari 4.500 ringgit per ton hingga mendekati 5.000 per ton pada kuartal kedua 2025.
Senada, Ina Sekuritas dalam risetnya menyebutkan cuaca kering di Malaysia dan curah hujan tinggi di Indonesia berisiko mempengaruhi produksi CPO ke depan. Pasokan yang terganggu akibat efek iklim tersebut turut berpotensi mengerek harga komoditas tersebut.
“Cuaca yang tidak biasa ini akan membuat tanaman sawit stres dan berdampak ke produktivitasnya pada masa mendatang,” tulis Analis Ina Sekuritas Arief Machrus.
Di Indonesia, dampak fenomena El Niño yang sempat melanda diperkirakan mulai terlihat pada paruh kedua 2025. Selain itu, potensi La Niña yang diprediksi membawa curah hujan lebih tinggi dan memicu banjir dapat memperburuk situasi karena panen makin sulit.
Sebagai konsekuensi, Ina Sekuritas memproyeksikan harga CPO untuk tahun fiskal 2025/2026 bakal berada di kisaran 4.700 ringgit per ton dan 4.800 ringgit per ton.
Harga CPO yang bertahan tinggi juga membuat selisih harga komoditas ini dengan pesaingnya, minyak kedelai, makin sempit. Harga minyak kedelai cenderung memperlihat tren penurunan karena memasuki puncak masa panen di Amerika Serikat. Menghadapi tantangan daya saing ini, pemerintah Indonesia bahkan memangkas tarif pungutan ekspor CPO.
Sejalan dengan pemulihan produksi yang cenderung lambat, Ina Sekuritas juga mencatat bahwa produksi CPO oleh emiten sawit di bawah radar analisis mereka mengalami koreksi per September 2024. Hal ini membuat mereka merevisi proyeksi pendapatan dan laba perusahaan-perusahaan tersebut.
“Kami menyematkan peringkat overweight untuk sektor perkebunan sawit karena potensi produktivitas yang lebih rendah dan secara historis, La Niña akan mengerek harga CPO,” tulis Ina Sekuritas.
Adapun dengan mengacu pada rata-rata 5 tahun price-to-earnings (P/E) multiple sebesar 12,7x, Ina Sekuritas memberikan rekomendasi beli untuk AALI dengan target harga Rp7.350 per saham. Proyeksi ini mencerminkan asumsi harga jual rata-rata (ASP) yang telah diperbarui, sementara estimasi produksi tetap dipertahankan.
Rekomendasi beli juga diberikan untuk LSIP dengan target harga Rp1.175 berdasarkan P/E multiple 10x (rata-rata 5 tahun). Proyeksi ini menawarkan potensi kenaikan hingga 24% dari harga LSIP di pasar saat ini.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.