Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Prospek Bioavtur (SAF): Potensi Indonesia, Langkah Pertamina dan Tren Produksi Dunia

SAF diproyeksikan mampu berkontribusi sekitar 65% atau 718 megaton pengurangan CO2 pada 2050.
Pesawat milik maskapai penerbangan Garuda Indonesia terparkir di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Selasa (21/6/2022). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Pesawat milik maskapai penerbangan Garuda Indonesia terparkir di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Selasa (21/6/2022). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA – Apa kabar target penerapan campuran Sustainable Aviation Fuel (SAF) sebesar 2% pada 2025?  Semoga, target yang dicanangkan dalam Peta Jalan Pengembangan Industri Sustainable Aviation Fuel bukan sekadar omon-omon belaka. 

Perkembangan informasi mengenai penerapan SAF 2% pada 2025 dan 5% pada 2030 dinanti publik. Publik menanti nanti kemajuan atau evaluasi setelah PT Garuda Indonesia (GIAA) melaksanakan penerbangan komersial pertama menggunakan bahan bakar Pertamina SAF dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten menuju Bandara Internasional Adi Soemarmo, Solo (27/10/2023). 

Penggunaan bahan bakar ramah lingkungan atau bioavtur ini penting untuk diterapkan di industri aviasi nasional. Mengingat, dengan potensi pengurangan emisi CO2 hingga 80% dibandingkan dengan bahan bakar konvensional, SAF memiliki potensi yang tak tertandingi, yang dipengaruhi oleh bahan baku dan jalur teknologi yang digunakan.

Mengacu proyeksi International Air Transport Association (IATA), SAF diproyeksikan mampu berkontribusi sekitar 65% atau 718 megaton pengurangan CO2 pada 2050. Bagi Indonesia, penggunaan bioavtur idealnya lebih menguntungkan, mengingat bahan baku SAF didapatkan dari dalam negeri. 

Dengan potensi bahan baku melimpah, seperti minyak kelapa sawit (CPO) serta perkiraan kapasitas produksi minyak goreng bekas (UCO) sebesar 3.9 juta ton per tahun pada 2023, Indonesia memiliki posisi yang tepat untuk mengembangkan industri SAF yang kuat.

Mengutip Laporan International Renewable Energy Agency (IRENA) bertajuk Sustainable Aviation Fuel in Southeast Asia, Indonesia memimpin sebagai negara dengan potensi SAF tertinggi, bahkan saat menggunakan residu dan limbah. 

Sebagai produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia, Indonesia menghasilkan residu dalam jumlah besar dari sektor perkebunannya. Residu ini berjumlah 7,5 juta ton/tahun dari total potensi SAF dari residu pertanian sebesar 9,3 juta ton/tahun. 

Sebaliknya, meskipun Malaysia adalah produsen minyak kelapa sawit terbesar kedua di dunia setelah Indonesia, potensi SAF dari residu dan limbahnya tetap rendah, yaitu 1,6 juta ton/tahun. Hal ini karena sebagian besar residu telah digunakan untuk berbagai keperluan lain. Potensi SAF teknis Malaysia semakin berkurang karena aliran residu terbesar kedua, sabut dan tempurung kelapa, ditujukan untuk industri karbon aktif dan arang.

IRENA menyebut Indonesia punya potensi paling besar di Asia Tenggara dalam pengembangan SAF. Tidak hanya diuntungkan soal bahan baku, Indonesia juga keunggulan CAPEX yang relatif rendah dalam pengembangan manufaktur SAF.

Perbandingan CAPEX Indonesia dan Malaysia dalam manufaktur SAF begitu signifikan. Produksi biodiesel berbasis limbah agrikultur (FT) Malaysia menunjukkan CAPEX tertinggi, hampir US$9,5 per liter SAF. Sebaliknya, Indonesia menunjukkan CAPEX yang jauh lebih rendah untuk jalur FT dan pemrosesan limbah minyak sawit (HEFA), senilai US$0,7 per liter SAF.

Di Indonesia, setidaknya ada dua perusahaan yang berkomitmen mengembangkan SAF. Pertama, PT Pertamina (Persero) yang mengandalkan minyak jelantah (UCO) di Kilang Cilacap. Kedua, Nextchem yang menggunakan bahan baku UCO dan limbah pabrik kelapa sawit (POME) di Sei Mangkei. 

Langkah Pertamina

Pertamina melalui PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) telah meraih sertifikasi untuk memproduksi bio avtur menggunakan UCO. Adapun sertifikat yang dimaksud adalah ISCC (International Sustainability Carbon Certification) Carbon Offsetting and Reduction Scheme for International Aviation (CORSIA) dan Europe Union (EU). 

“Kini KPI siap melangkah dengan memproduksi Pertamina SAF tersertifikasi ISCC pertama di Indonesia/Regional dengan bahan baku minyak jelantah (UCO) yang direncanakan pada Kuartal I/2025,” ujar Corporate Secretary KPI Hermansyah Y Nasroen, akhir pekan lalu. 

Sebelumnya, KPI telah berhasil meraih sertifikasi ISCC Corsia dan EU untuk SAF untuk Unit TDHT (treated distillate hydrotreating) yang berlokasi di Kilang Cilacap pada awal Desember 2024.

Saat melakukan percobaan penerbangan Oktober lalu, Pertamina menggunakan campuran SAF 2.4% yang diproduksi melalui teknologi co-processing HEFA dengan menggunakan bahan baku Refined Bleached Deodorized Palm Kernel Oil (RBDPKO).

Untuk mengamankan pasokan bahan baku, Pertamina juga telah menggulirkan program pengumpulan minyak jelantah hasil konsumsi rumah tangga. Berdasarkan hitungan konsumsi minyak goreng rumah tangga, setidaknya ada potensi 2,66 juta ton per tahun.

"UCO yang selama ini dianggap sebagai limbah rumah tangga akan kami bawa ke anak perusahaan Pertamina Group untuk diolah menjadi biofuel seperti HVO (hydrotreated vegetable oil) dan SAF, sehingga inisiatif ini tidak hanya mengurangi limbah rumah tangga, tetapi menjadi bagian dari solusi energi bersih yang lebih ramah lingkungan," ujar Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Heppy Wulansari. 

Proteksi Bahan Baku

Di sisi lain, Pemerintah memperketat ekspor POME, residu minyak sawit asam tinggi (High Acid Palm Oil Residue/HAPOR), dan minyak jelantah guna menjaga ketersediaan bahan baku industri dalam negeri.

Kebijakan tersebut diatur melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 2 Tahun 2025 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 26 Tahun 2024 tentang Ketentuan Ekspor Produk Turunan Kelapa Sawit. Permendag Nomor 2 Tahun 2025 mulai berlaku pada 8 Januari 2025.

"Kami menegaskan bahwa prioritas utama pemerintah saat ini adalah memastikan ketersediaan bahan baku minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) bagi industri minyak goreng dan mendukung implementasi B40. Namun, sekali lagi kami tegaskan, kepentingan industri dalam negeri adalah yang paling utama," ujar Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso.

Berdasarkan data Kementerian Perdagangan (Kemendag), ekspor POME dan HAPOR mencapai 3,45 juta ton pada Januari—Oktober 2024. Volume ekspor POME dan HAPOR pada periode ini jauh lebih besar dibandingkan dengan CPO, yang tercatat hanya sebesar 2,70 juta ton.  

Ekspor POME dan HAPOR pada 2023 mencapai 4,87 juta ton atau lebih besar dibandingkan dengan CPO yang tercatat sekitar 3,60 juta ton. Sementara itu dalam lima tahun terakhir, Kemendag mencatat ekspor POME dan HAPOR tumbuh 20,74%, sedangkan CPO turun rata-rata sebesar 19,54% pada periode yang sama. 

Memang pemerintah tidak secara gamblang menyebutkan pengetatan ekspor minyak jelantah sebagai dukungan untuk kepastian bahan baku SAF dalam negeri. Hanya saja, upaya preventif ini patut diapresiasi. 

Mengingat, para produsen bahan bakar terbarukan di dunia akan menghadapi krisis pasokan minyak bekas yang cukup. 

Melansir Bloomberg, pada 2030, kebutuhan dunia untuk memproduksi SAF akan membutuhkan setidaknya dua kali lipat jumlah minyak goreng bekas yang dapat dikumpulkan di AS, Eropa, dan China. Belum lagi, kebutuhan jelantah untuk untuk membuat bahan bakar lain, terutama solar terbarukan.

Saat ini, konsumsi biofuel UCO meningkat hampir 40% antara 2021 dan 2023, tetapi tingkat pengumpulan hanya tumbuh sebesar 3%.

Pelambatan Pertumbuhan Produksi SAF

Di tengah upaya pengembangan SAF di Tanah Air, fakta mengejutkan datang dari tren produksi bioavtur dunia. The International Air Transport Association (IATA) merilis data volume produksi SAF mencapai 1 juta ton (1,3 miliar liter) pada 2024, atau meningkat dua kali lipat dari 0,5 juta ton (600 juta liter) dari diproduksi pada tahun sebelumnya.

Sayangnya, kinerja ini jauh di bawah estimasi sebelumnya yang memproyeksikan produksi SAF pada 2024 mencapai 1,5 juta ton (1,9 miliar liter). Hal ini terjadi karena fasilitas produksi SAF utama di AS telah menunda peningkatan produksi mereka hingga paruh pertama 2025. Saat ini, SAF menyumbang 0,3% dari produksi bahan bakar jet global dan 11% dari bahan bakar terbarukan global.

Tahun ini, produksi SAF diperkirakan akan mencapai 2,1 juta ton (2,7 miliar liter) atau 0,7% dari total produksi bahan bakar jet dan 13% dari kapasitas bahan bakar terbarukan global*.

“Volume SAF meningkat, tetapi sangat lambat. Namun jangan salah, bahwa maskapai penerbangan ingin membeli SAF dan ada uang yang bisa dihasilkan oleh investor dan perusahaan yang melihat masa depan jangka panjang dekarbonisasi,” ujar Direktur Jenderal IATA Willie Walsh, dalam keterangan resmi. 

Untuk mengembalikan tren pertumbuhan produksi SAF, lanjut Walsh, pemerintah suatu negara dapat mempercepat kemajuan dengan mengurangi subsidi produksi bahan bakar fosil dan menggantinya dengan insentif produksi strategis yang dibangun di atas energi terbarukan, termasuk SAF. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper