Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Perubahan Iklim Sebabkan Kerugian Bencana Alam US$550 Miliar Sepanjang 2024

Bencana air sepanjang 2024 lebih dari 8.700 kematian yang menyebabkan 40 juta orang mengungsi dan menyebabkan kerugian ekonomi melebihi US$550 miliar.
Foto udara api membakar lahan gambut di Pedamaran, Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, Senin (18/9/2023). Balai Pengendalian Perubahan Iklim dan Kebakaran Hutan dan Lahan Wilayah Sumatera menerjunkan 9 regu Manggala Agni dari Daops OKI, Lahat, Muba, Banyuasin dan Jambi untuk melakukan pemadaman kebakaran lahan gambut di wilayah tersebut. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
Foto udara api membakar lahan gambut di Pedamaran, Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, Senin (18/9/2023). Balai Pengendalian Perubahan Iklim dan Kebakaran Hutan dan Lahan Wilayah Sumatera menerjunkan 9 regu Manggala Agni dari Daops OKI, Lahat, Muba, Banyuasin dan Jambi untuk melakukan pemadaman kebakaran lahan gambut di wilayah tersebut. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi

Bisnis.com, JAKARTA — Perubahan iklim secara signifikan mengganggu siklus air global pada tahun 2024, mengakibatkan bencana besar terkait air yang menyebabkan lebih dari 8.700 kematian yang menyebabkan 40 juta orang mengungsi dan menyebabkan kerugian ekonomi melebihi US$550 miliar.

Professor of Water Science and Management, Australian National University Chair, Global Water Monitor Consortium Albert van Dijk mengatakan kerugian ekonomi akibat bencana air diproyeksikan melebihi US$500 miliar karena angka sebenarnya mungkin lebih tinggi karena data dan peristiwa yang tidak lengkap dan tidak terdaftar.

Adapun peristiwa yang paling merusak termasuk banjir sungai, banjir bandang, tanah longsor, kekeringan, dan siklon tropis.

“Tragedi kemanusiaan seperti banjir bandang dan tanah longsor menyebabkan puluhan ribu korban jiwa di seluruh dunia, dengan peristiwa-peristiwa besar di Afrika, Asia Selatan dan Papua Nugini memimpin jumlah korban jiwa,” ujarnya dalam laporan Global Water Monitor 2024, Kamis (9/1/2025). 

Lalu, pengungsi banjir sungai di wilayah Sahel dan kekeringan di Afrika Selatan menyebabkan lebih dari 30 juta orang mengungsi penduduk dan memperburuk kerawanan pangan di wilayah yang luas.

Dari sisi ketahanan pangan, terjadi kekeringan sangat parah dan hanya Afrika Selatan yang mengalami penurunan hasil panen hingga separuhnya produksi pangan menyebabkan lebih dari 30 juta orang menghadapi kekurangan pangan.

“Siklon tropis mengakibatkan kerugian ekonomi melebihi US$520 miliar secara global, khususnya di Amerika Serikat dan Asia Tenggara, sehingga menjadikan bencana ini sebagai bencana yang paling merugikan pada 2025,” katanya. 

Selain itu, terjadi kekeringan dan kebakaran yang disebabkan oleh penggundulan hutan menyebabkan kerusakan besar pada hutan hujan Amazon, dengan lebih dari 52.000 kilometer hutan hilang akibat kebakaran pada bulan September saja.

Adapun aspek-aspek utama siklus air pada 2024 di wilayah daratan global yakni curah hujan di daratan mendekati rata-rata tahun 1995–2005. Bulan-bulan yang sangat kering telah menjadi hal yang semakin umum dalam beberapa dekade terakhir dengan 38% lebih banyak bulan-bulan kering yang tercatat pada tahun 2024 dibandingkan periode awal.

“Curah hujan harian ekstrem 52% lebih sering terjadi pada 2024 dibandingkan tahun 1995–2005, dengan curah hujan harian yang memecahkan rekor di Afrika Barat, Eropa, dan Asia. Terdapat tren peningkatan yang signifikan sebesar 4% per dekade atas lahan,” ucapnya. 

Lalu suhu rata-rata di daratan merupakan yang tertinggi yang tercatat secara global dan terjadi di 111 negara, dan secara global 1,2 derajat Celcius di atas rerata pada 1995–2005. Frekuensi bulan-bulan hangat merupakan yang tertinggi sejak tahun 1979.

“Suhu tinggi rekor baru ditetapkan untuk suhu maksimum tahunan di 34 negara dan hari-hari panas di 40 negara. Keduanya menunjukkan tren peningkatan. Suhu rendah secara global, jumlah hari beku di daratan merupakan yang terendah yang pernah tercatat. Suhu minimum tahunan meningkat, terutama di daerah tropis,” tutur Albert. 

Selanjutnya, kelembapan udara relatif di daratan merupakan yang tertinggi sejak tahun 2018, namun tren penurunannya masih terus berlanjut. Kelembapan sangat rendah di Amerika Selatan dan Afrika Tengah pada tahun 2024.

“Air tanah menunjukkan perbedaan regional yang kuat, dengan kekeringan ekstrim di Amerika Selatan dan Afrika Selatan dan kondisi basah di Afrika Barat. Luas air permukaan di daratan mendekati rata-rata dimana terdapat tren peningkatan volume air bulanan yang mencapai rekor tertinggi secara global, yaitu sebesar 3% per dekade sejak tahun 2003,” terangnya. 

Selain itu, kondisi vegetasi merupakan yang tertinggi sejak tahun 2001 dan terus meningkat secara stabil. Dampak kekeringan terhadap vegetasi paling besar terjadi di wilayah Amazon dan Afrika Selatan.

Selanjutnya, aliran sungai sangat rendah di Amerika Selatan bagian utara dan tinggi di Afrika Barat, Tengah dan Timur. Adapun terdapat tren peningkatan aliran air yang mencapai rekor tertinggi sebesar 21% per dekade sejak tahun 2001.

Dia menuturkan penyimpanan air danau dan waduk di seluruh dunia menurun selama lima tahun berturut-turut, dengan tingkat terendah yang belum pernah terjadi sebelumnya di Amerika Selatan dan tingkat tertinggi di Afrika

“Penyimpanan air di darat – baik di bawah tanah maupun di permukaan, gabungan air es dan salju – terus menunjukkan tingkat yang rendah nilai di tahun 2024 di sebagian besar wilayah kering di dunia, namun terjadi peningkatan yang signifikan di Afrika bagian barat, tengah, dan timur,” ujarnya. 

Albert memproyeksikan kondisi hidrologi pada awal tahun 2025 menunjukkan potensi kekeringan yang berkembang atau semakin intensif di wilayah utara Selatan Amerika, Afrika bagian selatan, Afrika bagian utara, Asia Tengah, sebagian Amerika Utara dan Australia Barat. Daerah seperti Sahel, Afrika, Eropa, dan sebagian besar Asia relatif basah akan menghadapi risiko banjir lebih besar dibandingkan kekeringan.

Dia menilai perubahan iklim yang sedang berlangsung, suhu global kemungkinan akan terus meningkat pada 2025, yang akan menyebabkan lebih banyak gelombang panas, risiko kebakaran hutan yang lebih besar, badai hebat, dan curah hujan ekstrem. Hal ini mencakup kemungkinan lebih besar terjadinya banjir bandang dan kekeringan bandang yang akan terjadi dengan cepat di semua wilayah.

“Perubahan iklim yang sedang berlangsung meningkatkan potensi kejadian cuaca ekstrem, termasuk banjir bandang, kekeringan bandang, badai hebat, dan gelombang panas di banyak wilayah di tahun 2025,” katanya. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Yanita Petriella
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper