Bisnis.com, JAKARTA — Target pembiayaan iklim sebesar US$300 miliar yang disepakati dalam Konferensi Iklim atau COP29 menuai kritik dari negara berkembang.
Komitmen pendanaan dari negara maju yang untuk membantu membantu negara-negara miskin menghadapi dampak perubahan iklim tersebut dinilai jauh dari ideal bagi negara-negara penerima.
Kesepakatan yang dicapai dalam sesi tambahan konferensi di Baku, Azerbaijan ini bertujuan untuk mendorong upaya internasional dalam menekan pemanasan global, terlebih di tengah proyeksi bahwa 2024 menjadi tahun terpanas dalam sejarah.
Reuters melaporkan bahwa kesepakatan tersebut disambut sebagian delegasi dengan tepuk tangan meriah. Namun, beberapa lainnya mengecam negara-negara kaya yang dianggap tidak berbuat lebih banyak serta menyayangkan keputusan tuan rumah Azerbaijan yang tergesa-gesa mengesahkan rencana kontroversial ini.
“Dengan berat hati, kami menyatakan bahwa dokumen ini tidak lebih dari sekadar ilusi optik," kata Chandni Raina, perwakilan delegasi India, dalam sesi penutupan. “Dokumen ini, menurut kami, tidak akan mampu menghadapi besarnya tantangan yang kita hadapi. Oleh karena itu, kami menolak adopsi dokumen ini.”
Kepala iklim PBB Simon Stiell mengakui bahwa negosiasi berlangsung alot. Namun dia menyebut kesepakatan ini adalah polis asuransi bagi umat manusia dalam melawan pemanasan global.
Baca Juga
“Kesepakatan ini akan menjaga momentum pertumbuhan energi bersih dan melindungi miliaran nyawa. Namun, seperti asuransi, itu hanya berfungsi jika premi dibayar penuh dan tepat waktu,” kata Stiell.
Melalui kesepakatan ini, negara maju akan menyediakan pendanaan iklim sebesar US$300 miliar per tahun hingga 2035. Komitmen pendanaan tersebut lebih besar dari US$100 miliar yang disepakati pada 2020 dan baru tercapai pada 2022.
COP29 sendiri menyoroti tanggung jawab finansial negara-negara industri maju yang secara historis berkontribusi signifikan pada kenaikan emisi global. Pendanaan iklim ini merupakan kompensasi yang diberikan kepada negara lain atas kerusakan alam yang timbul dari perubahan iklim.
Adapun negara-negara yang wajib berkontribusi mencakup lebih dari 20 negara maju, termasuk Amerika Serikat, Kanada dan negara-negara Eropa. Klasifikasi negara maju ini mengacu pada dialog iklim PBB pada 1992.
Namun, perundingan mengenai pendanaan sekaligus memperlihatkan kondisi yang kurang ideal. Ketika negara-negara berkembang bergulat dengan bencana akibat krisis iklim, negara-negara maju justru menghadapi tekanan anggaran akibat situasi domestik. Perhatian mengenai isu iklim dan pemanasan global bahkan dinomorduakan di banyak negara kaya.
“Kami hanya memperoleh sebagian kecil dari pendanaan yang sangat dibutuhkan oleh negara-negara rentan perubahan iklim. Ini jelas tidak cukup, tetapi setidaknya ini adalah awal," ujar Tina Stege, utusan iklim Kepulauan Marshall.
Tahun 2024 diperkirakan menjadi tahun terpanas dalam sejarah, dengan bencana iklim yang makin kerap ditemui. Fenomena banjir luas yang menewaskan ribuan orang terjadi di Afrika, sementara longsor di Asia telah mengubur banyak desa dan kekeringan di Amerika Selatan telah memicu penyempitan sungai.
Negara maju juga tak luput dari bencana, seperti banjir di Valencia, Spanyol, bulan lalu yang menewaskan lebih dari 200 orang. Sementara di AS, 24 bencana alam telah merugikan negara tersebut miliaran dolar sepanjang tahun ini.