Bisnis.com, JAKARTA— Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) mengungkap perubahan iklim menjadi tantangan serius yang tak dapat diabaikan, terutama bagi industri asuransi.
Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), Bern Dwiyanto, menyoroti bagaimana perubahan iklim telah menciptakan risiko baru yang mengancam keberlanjutan ekonomi, termasuk industri asuransi umum.
“Perubahan iklim menjadi ancaman untuk negara kita yang notabene adalah negara besar dengan jumlah penduduknya nomor empat terbesar di dunia. Menjadi krisis eksistensial bagi ketahanan pangan dan properti,” kata Bern kepada Bisnis pada Minggu (24/11/2024).
Dampak cuaca ekstrem akibat perubahan iklim juga disebut dapat memengaruhi potensi klaim asuransi dan profitabilitas perusahaan. Bern mengatakan proyeksi ke depan memperlihatkan kondisi yang semakin buruk. Oleh sebab itu, dia menekankan perlunya penyesuaian pada model bisnis asuransi yang sudah ada, dan langkah-langkah baru sangat diperlukan untuk menyebarkan kesadaran akan risiko.
Menurut Bern, perlu ada kerangka baru untuk mengelola risiko berbasis iklim yang mencakup peningkatan kapabilitas perusahaan asuransi, inovasi produk, dan kerja sama ekosistem.
“Perusahaan asuransi perlu meningkatkan kapabilitas mereka dalam pengelolaan risiko baru, mengadopsi permodelan yang kuat, dan meningkatkan pemahaman akan risiko iklim untuk menciptakan kondisi di masa depan yang lebih aman dan tangguh,” katanya.
Baca Juga
Langkah lain yang juga menjadi prioritas adalah penerapan standar manajemen produk asuransi berbasis global. Hal ini dinilai penting untuk menjaga kualitas dan membangun kepercayaan konsumen terhadap produk yang ditawarkan.
Implementasi prinsip keberlanjutan seperti Environmental, Social, and Governance (ESG) juga menjadi perhatian utama dalam menghadapi risiko perubahan iklim.
“Penerapan ESG akan membantu menciptakan ekosistem asuransi yang lebih hijau dan tangguh, sejalan dengan prioritas nasional,” kata Bern.
Dalam laporan Global Climate Risk Index 2021 yang dirilis oleh Germanwatch, Indonesia masuk dalam peringkat 20 besar negara yang paling terdampak perubahan iklim dalam dua dekade terakhir.
Cuaca ekstrem, seperti banjir, angin topan, dan kekeringan, tidak hanya mengancam ketahanan pangan, tetapi juga merusak properti dan infrastruktur yang nilainya mencapai triliunan rupiah.
Dengan kondisi tersebut, Bern mengingatkan bahwa perusahaan asuransi harus lebih proaktif.
“Penerapan standar global tidak hanya memperkuat fondasi industri, tetapi juga mendorong keberlanjutan jangka panjang,” tambahnya.
Bern juga menekankan pentingnya kerja sama antar-pemangku kepentingan dalam menciptakan solusi inovatif. Dalam laporan yang dirilis oleh Swiss Re Institute pada 2023, kerugian ekonomi global akibat bencana alam mencapai lebih dari US$275 miliar, di mana hanya US$125 miliar yang tercatat sebagai kerugian yang diasuransikan.
Data ini mencerminkan bahwa risiko bencana alam masih belum sepenuhnya diantisipasi, terutama di negara berkembang seperti Indonesia.
Terakhir, Bern pun menyampaikan bahwa adaptasi terhadap risiko berbasis iklim merupakan langkah strategis yang perlu diambil oleh industri asuransi untuk menciptakan masa depan yang lebih tangguh.
“Dengan langkah-langkah ini, kita dapat memastikan keberlanjutan industri asuransi sekaligus mendukung pembangunan nasional yang lebih hijau dan inklusif,” tandasnya.