Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Hilirisasi Nikel Jangan Mengabaikan Pelestarian Lingkungan

Kontradiksi antara potensi ekonomi yang dijanjikan dan ancaman lingkungan yang membayangi, memicu perdebatan sengit tentang arah kebijakan hilirisasi nikel.
Kawasan Industri Morowali Indonesia di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, Minggu, (9/7/2023). Sulawesi merupakan wilayah yang kaya akan nikel sehingga Indonesia menyumbang setengah dari produksi global./Bloomberg-Dimas Ardian
Kawasan Industri Morowali Indonesia di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, Minggu, (9/7/2023). Sulawesi merupakan wilayah yang kaya akan nikel sehingga Indonesia menyumbang setengah dari produksi global./Bloomberg-Dimas Ardian

Bisnis.com, JAKARTA – Ambisi Indonesia menjadi pemain utama dalam rantai pasok nikel global justru menghadirkan dilema besar antara mendorong potensi ekonomi dan dihadapkan isu lingkungan yang kian nyata.

Bukan berita baru kalau Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam dan mineral. Bahkan sejak ratusan tahun lalu, aktivitas eksploitasi oleh kolonial menjadi buktinya. 

Jika sebelumnya, minyak, emas, hingga batu bara, maka belakangan publik terpapar dengan gaung eksploitasi nikel. 

Tidak salah, Kementerian ESDM menyebut total sumber daya nikel mencapai 18,55 miliar ton bijih. Tahun lalu, produksi nikel ditargetkan mencapai 240 juta ton, naik dari kebutuhan smelter 220 juta ton pada 2023.

Melihat potensi ini, pemerintah tidak tinggal diam. Upaya mengubah tanah menjadi emas ini terus dilakukan. Namun, sebuah kajian terbaru dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) menyodorkan sebuah pernyataan krusial. 

Laporan ini mengungkap kontradiksi antara potensi ekonomi yang dijanjikan dan ancaman lingkungan yang membayangi, memicu perdebatan sengit tentang arah kebijakan ke depan.

Indonesia telah menerapkan dua kali larangan ekspor bijih nikel, sebuah langkah yang memicu pertumbuhan signifikan di industri hilir nikel. Kendati demikian, LPEM FEB UI mengungkapkan bahwa kontribusi hilirisasi nikel terhadap ekonomi nasional saat ini masih terbatas.

"Aktivitas hilirisasi Indonesia masih fokus pada proses bernilai tambah rendah, seperti pembuatan baja, bukan proses bernilai tambah tinggi seperti manufaktur kendaraan listrik (EV)," ungkap laporan tersebut dikutip Bisnis, Selasa (24/6/2025).

Fakta di lapangan berbicara. Pada 2023, ekspor feronikel mencapai sekitar tiga kali lipat gabungan ekspor nikel matte dan nikel sulfat (yang biasanya digunakan untuk kendaraan listrik). 

Hal ini menunjukkan bahwa fokus utama hilirisasi masih pada tahap awal rantai nilai. Lebih ironisnya lagi, diperkirakan sekitar 90% dari penciptaan nilai tambah nikel tidak terdistribusi kepada rakyat Indonesia karena banyak perusahaan pertambangan dan industri nikel tidak dimiliki secara domestik.

LPEM FEB UI menegaskan bahwa bergantung semata-mata pada hilirisasi nikel tidak akan cukup untuk memastikan pertumbuhan berkelanjutan bagi transisi ekonomi Indonesia.

Hanya saja, gegap gempita smelter nikel memang berhasil mendongkrak perekonomian lokal. Provinsi-provinsi penghasil nikel, seperti Maluku Utara dan Sulawesi Tengah, mencatat pertumbuhan ekonomi tinggi antara 2021-2023. 

Pertumbuhan Maluku Utara melonjak drastis dari 6,73% (2014-2019) menjadi 20,07% (2021-2024), sementara Sulawesi Tengah naik dari 11,17% menjadi 12,94% pada periode yang sama.

"Pertumbuhan tinggi penambangan bijih logam dan industri logam, terutama di Maluku Utara, mendukung pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan," tulis catatan LPEM FEB UI.

Meski potensi ekonomi hilirisasi nikel menjanjikan, sisi lain dari aktivitas ini menimbulkan tantangan serius terkait pelestarian lingkungan yang tidak bisa diabaikan. Hal ini pun menjadi sorotan tajam dalam kajian LPEM FEB UI.

Penambangan nikel telah menyebabkan pembukaan 76.031 hektar hutan, dengan 68% konsesi tumpang tindih dengan hutan. Studi dari University of Maryland (UMD) memperkirakan 153.364 hektar hutan hilang antara 2001 dan 2022. 

"Indonesia menyumbang 26,4% dari deforestasi terkait pertambangan global," sebut laporan tersebut. 

Sebelumnya, Greenpeace Indonesia juga mengkritik hilirisasi industri nikel yang disebut telah merusak lingkungan dengan membabat hutan, mencemari sumber air, sungai, laut, hingga udara. 

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik mengatakan industrialisasi nikel yang tengah digenjot pemerintah di tengah permintaan mobil listrik yang meningkat telah mengorbankan kondisi hutan, tanah, sungai dan laut di berbagai wilayah seperti Morowali, Konawe Utara, Kabaena, Wawonii, Halmahera, hingga Obi. “Kini tambang nikel juga mengancam Raja Ampat, Papua, tempat dengan keanekaragaman hayati yang amat kaya yang sering dijuluki sebagai surga terakhir di bumi,” kata Iqbal dalam keterangan resminya, Selasa (3/6/2025). 

Adapun LPEM FEB UI mencatat enam dari 25 konsesi deforestasi nikel teratas berdampak pada 27.693 hektar Kawasan Keanekaragaman Hayati Utama (KBA), membahayakan spesies endemik seperti rangkong Sulawesi.

Tidak hanya itu, Peleburan nikel di pesisir menyebabkan kerusakan signifikan pada hutan bakau dan terumbu karang. "Indonesia, sebagai bagian dari Segitiga Terumbu Karang, memiliki 30% terumbu karang dunia dan 76% spesies karang global, menjadikan peleburan nikel ancaman besar bagi ekosistem laut," demikian peringatan dari kajian tersebut.

Selain aktivitas pertambangannya, operasional smelter nikel 67% ditopang Pembangkit Listrik Tenaga Batubara (PLTU). Hal ini memperkokoh Indonesia sebagai negara kelima terbesar secara global dalam kapasitas PLTU mandiri (9.815 MW). 

Pembangkit listrik ini melepaskan 47 juta ton CO₂ setiap tahun. Dengan produksi nikel yang diproyeksikan meningkat tiga kali lipat pada 2028, emisi dapat mencapai 38,5 juta ton, atau sekitar 4,5% dari total emisi Indonesia.

LPEM FEB UI juga menyoroti kerangka regulasi Indonesia, terutama melalui Omnibus Law, secara signifikan telah melemahkan perlindungan lingkungan. 

Belajar dari Raja Ampat

Kelemahan dalam pengawasan dan implementasi regulasi ini tidak hanya bersifat teoritis. 

Kasus penambangan nikel di Raja Ampat menjadi contoh nyata bagaimana penguatan penegakan hukum dan perizinan perlu dihadirkan agar terhindar dari kerusakan kawasan yang sangat dilindungi.

Terlepas perizinan yang diperkuat, isu ketaatan pemerintah dalam menjalankan aturan hukum yang berlaku juga dipertanyakan. Apalagi dengan merujuk eksploitasi nikel di Raja Ampat. 

Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) mengatakan bahwa empat izin usaha pertambangan (IUP) di Raja Ampat yang dicabut oleh pemerintah, masih berada pada tahap eksplorasi. 

Lanjutnya, ketika Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pulau kecil tidak boleh ditambang, seharusnya Kementerian ESDM langsung menyatakan bahwa semua aktivitas pertambangan itu dihentikan di pulau-pulau kecil. 

“Masalahnya masih berpaku pada, ‘oh izinnya sudah ada sebelum aturan itu dikeluarkan’. Kan seharusnya tidak bisa begitu ya. Ya ke depan tidak boleh lagi di pulau kecil ada tambang,” ujarnya di kanal youtube Bisniscom, dikutip Selasa (24/6/2025).

Bhima melanjutkan persoalan penambangan di Raja Ampat mesti menjadi momentum untuk mengevaluasi program hilirisasi, karena hasil tambang di kepulauan itu dialirkan ke smelter yang berada di wilayah Maluku Utara. 

Bhima berharap, apa yang terjadi di Raja Ampat dapat menjadi momentum untuk memperbaiki tata kelola industri nikel agar manfaat ekonomi dapat dirasakan secara adil tanpa mengorbankan keberlanjutan lingkungan dan sosial.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper