Bisnis.com, JAKARTA — Deretan korporasi jumbo di industri energi fosil menerima puluhan miliaran dolar pembiayaan dari institusi keuangan raksasa dunia. Praktik ini terus berlanjut meski sektor perbankan telah berkomitmen untuk mengurangi paparan di bisnis energi ‘kotor’.
Laporan bertajuk Banking on Climate Chaos dari koalisi delapan kelompok lingkungan mencatat bahwa nilai pembiayaan 65 bank terbesar di dunia kepada perusahaan batu bara, minyak dan gas menembus US$869 miliar atau sekitar Rp14.182 triliun (kurs transaksi Bank Indonesia Rp16.320 per dolar AS) pada 2024. Nilai fantastis ini digelontorkan bank-bank tersebut terlepas dari komitmen lingkungan yang telah dijanjikan pada KTT Iklim COP21 di Glasgow, Skotlandia pada 2021.
Sejak Persetujuan Paris ditandatangani pada 2016, sektor perbankan global telah menggelontorkan pembiayaan senilai US$7,9 triliun ke industri bahan bakar fosil. Sekitar US$1,6 triliun di antaranya disuntikkan untuk mendukung aktivitas ekspansi perusahaan-perusahaan tersebut.
Pada tahun lalu saja, nilai pembiayaan untuk ekspansi perusahaan industri energi fosil menembus US$429 miliar atau sekitar Rp7.001 triliun. Nilai ini jauh melesat dibandingkan dengan 2023 yang berada di angka Rp84,8 miliar.
Baca Juga : Bank Dunia Danai Indonesia Rp34,72 Triliun untuk Reformasi Kebijakan dan Transisi Energi |
---|
Beberapa perusahaan penerima pembiayaan ekspansi terbesar pada tahun tersebut antara lain Diamondback Energy yang memperoleh US$20,9 miliar untuk proyek ekspansi minyak dan gas di Permian Basin, Texas. Kemudian ada Enbridge yang mendapatkan US$16,5 miliar untuk perluasan jaringan pipa di Kanada dan Amerika Serikat, termasuk proyek T15 yang ditentang kelompok sipil.
Perusahaan energi asal Inggris, BP, tercatat memperoleh US$10,9 miliar pada tahun lalu. Pendanaan segar ini dipakai untuk proyek eksplorasi, pengembangan pipa, terminal LNG, dan pembangkit tenaga gas di lebih dari 30 negara.
Energy Transfer menerima US$7,8 miliar untuk memperluas jaringan pipa dan fasilitas LNG, sebagian besar berlokasi di Amerika Serikat. Sementara itu, Duke Energy menerima US$7,1 miliar untuk rencana ekspansi berbasis batu bara dan gas di enam negara bagian di AS, meskipun kontribusi energi terbarukannya tergolong minim.
Dominasi Perbankan AS
Kendati secara agregat pembiayaan bank terhadap sektor energi fosil menunjukkan penurunan sejak 2021, dua pertiga dari 65 bank dalam laporan ini justru meningkatkan nilai pembiayaan mereka antara 2023 dan 2024, dengan total kenaikan sebesar US$162 miliar.
Peran institusi keuangan dari Amerika Serikat, Kanada, Eropa, dan China tetap dominan dalam pembiayaan global energi fosil.
Bank-bank asal Amerika Serikat menyumbang US$289 miliar pada 2024, atau sepertiga dari total pembiayaan yang tercakup dalam laporan tersebut. Empat bank terbesar AS yakni JPMorgan Chase, Bank of America, Citigroup, dan Wells Fargo secara kumulatif bertanggung jawab atas 21% dari total pembiayaan energi fosil global. Bank-bank ini juga berperan penting dalam menyindikasi obligasi dan pinjaman bagi perusahaan energi fosil di seluruh dunia.
Dari Jepang, bank-bank besar seperti Mizuho, MUFG, dan SMBC menempati posisi keempat, keenam, dan kesebelas sebagai pemberi dana terbesar di sektor ini, dengan total kontribusi mencapai 12% dari seluruh pembiayaan dalam laporan 2024.
Hampir separuh dari dana tersebut disalurkan kepada perusahaan-perusahaan berbasis di Amerika Serikat.
“Hal menunjukkan pentingnya dukungan perbankan Jepang bagi industri energi fosil AS, khususnya dalam proyek gas metana,” tulis laporan tersebut.
Di Eropa, Barclays dari Inggris tercatat sebagai bank pemberi pembiayaan energi fosil terbesar dengan nilai mencapai US$35,4 miliar pada 2024. Disusul oleh Santander dari Spanyol, HSBC dari Inggris, Deutsche Bank dari Jerman, dan BNP Paribas dari Prancis yang masing-masing menyalurkan dana antara US$14 miliar hingga US$17,3 miliar.
Laporan ini juga menyoroti peran bank-bank dari China dalam pembiayaan batu bara di dunia. CITIC dan Bank of China tercatat sebagai pemberi dana terbesar dari negara tersebut dengan nilai masing-masing US$22,3 miliar dan US$18,8 miliar pada 2024.
Tom BK Goldtooth, Direktur Eksekutif Indigenous Environmental Network, menyatakan bahwa laporan Banking on Climate Chaos menegaskan bahwa bank-bank investasi Wall Street dan lembaga keuangan global turut menjadi bagian dari krisis iklim.
“Meskipun bank-bank ini terus mengklaim kepedulian terhadap lingkungan melalui praktik greenwashing dan janji-janji palsu, mereka tetap membiayai ekspansi industri bahan bakar fosil serta solusi semu yang justru memperdalam ketidakadilan iklim, perampasan tanah, dan pelanggaran hak asasi manusia,” kata Goldtooth dalam siaran pers.
Investasi Energi Bersih Masih Jauh dari Target
Sementara itu, laporan terbaru World Economic Forum (WEF) bertajuk Fostering Effective Energy Transition 2025 mengungkapkan bahwa pada 2024, terdapat berbagai kerentanan mendasar dalam rantai pasok dan pasar energi. Kondisi ini diperparah oleh lonjakan permintaan energi yang mencetak rekor baru.
Konflik bersenjata mengganggu arus perdagangan, sementara lonjakan permintaan akibat elektrifikasi, termasuk dari pusat data berbasis kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), telah mendorong permintaan energi global naik sebesar 2,2%. Kenaikan ini merupakan laju tertinggi dalam beberapa tahun terakhir.
Meski kapasitas energi terbarukan terus berkembang dan efisiensi energi meningkat, emisi karbon dioksida (CO₂) dari sektor energi mencapai rekor tertinggi di angka 37,8 miliar ton pada 2024.
Selain itu, investasi pada energi bersih tercatat meningkat menjadi lebih dari US$2 triliun. Angka ini dua kali lipat dari tingkat pada 2020, tetapi masih jauh dari kebutuhan sebesar US$5,6 triliun per tahun hingga 2030. Bahkan, laju pertumbuhan tahunan investasi energi bersih melambat menjadi hanya 11%, turun dari kisaran 24–29% dalam tiga tahun sebelumnya.