Bisnis.com, JAKARTA — Indef mengungkap penambahan target EBT untuk pembangkit listrik dalam sedekade terbilang ambisius.
Kepala Center of Food, Energy and Sustainable Development Indef, Abra Talattov mengungkap sejumlah tantangan untuk merealisasikan target penambahan porsi pembangkit energi baru terbarukan (EBT) hingga 61% dalam sepuluh tahun ke depan.
Adapun, target yang tertuang dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 itu lebih tinggi dibandingkan dengan porsi EBT pada RUPTL sebelumnya (2021-2030) yang dipatok 51,6%.
Menurut Abra, kebijakan dalam RUPTL baru ini menjadi cerminan langkah pemerintah yang ambisius dalam mewujudkan dekarbonisasi sektor energi dan transisi menuju bauran energi yang lebih bersih.
“Di balik target ambisius tersebut kita tidak bisa menutup mata bahwa upaya mendorong transisi energi masih dihadapkan pada sejumlah tantangan serius, baik dari sisi teknis, kelembagaan, maupun fiskal,” kata Abra dalam keterangan resminya, Selasa (27/5/2025).
Tak hanya transformasi penyediaan EBT, dalam hal ini Abra juga menyoroti cakupan pemanfaatan dari energi terbarukan yang dihasilkan tersebut.
Dia pun mengungkit realisasi RUPTL 2015-2024 yang menjadi basis megaproyek pembangkit listrik 35.000 MW dengan asumsi pertumbuhan penjualan listrik mencapai 8,7%. Dalam catatannya, realisasi penjualan listrik nasional selama periode 2015-2024 rata-rata hanya 4,4% per tahun.
“Artinya, pertumbuhan konsumsi listrik nasional yang belum sebanding dengan penambahan kapasitas, dapat terus meningkatkan surplus pasokan [oversupply] seperti yang saat ini terjadi di beberapa wilayah, terutama Jawa-Bali,” tuturnya.
Padahal, menurut Abra, penambahan kapasitas listrik terpasang yang besar mestinya diikuti dengan penyerapan yang optimal, khususnya dari sektor industri.
Jika merujuk pada PDB sektoral tahun 2024 dimana pertumbuhan PDB sektor ketenagalistrikan yang mencapai 6,47% tidak dibarengi dengan pertumbuhan PDB sektor manufaktur yang hanya tumbuh 4,75%.
Dia menambahkan, kondisi oversupply listrik berpotensi kembali meningkat dikarenakan konsumsi listrik per kapita Indonesia yang masih sangat rendah yaitu hanya 1.441 kWh/kapita pada 2024, jauh dari rata-rata ASEAN yang menyentuh 3.896 kWh.
Di sisi lain, tantangan berikutnya akan dihadapi oleh negara melalui PLN sebagai off-taker utama dari seluruh proyek pembangkit baru yang pada gilirannya akan menanggung risiko keuangan yang cukup besar.
Di tengah beban utang yang tinggi dan kewajiban membeli listrik dari Independent Power Producers (IPPs) dalam skema take-or-pay, penambahan kapasitas pembangkit EBT dan storage yang relatif mahal (terutama pada tahap awal) pastinya dapat memperburuk neraca keuangan PLN.
Selain membebani keuangan PLN secara langsung, implementasi target EBT dan storage dalam RUPTL 2025–2034 juga berpotensi mendorong kenaikan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik.
Teknologi EBT, terutama yang bersifat intermiten seperti tenaga surya dan angin, memerlukan investasi awal yang besar serta infrastruktur pendukung seperti sistem penyimpanan dan smart grid.
Baca Juga : Pertamina Geothermal (PGEO) Sambut RUPTL PLN 2025–2034, Bidik Tambahan Kapasitas Panas Bumi |
---|
Jika tidak diimbangi dengan efisiensi operasional dan skema pendanaan yang tepat, BPP listrik PLN dapat meningkat secara signifikan. Kondisi terakhir saja telah terjadi kenaikan BPP listrik hingga 13,4 persen dari dari Rp1.408 per kwh pada 2022 menjadi Rp1.595 per kwh pada 2023.
Dalam hal ini, kenaikan BPP tersebut dinilai dapat membawa dua konsekuensi. Pertama, beban tambahan tersebut ditanggung oleh APBN melalui kompensasi dan subsidi. Kedua, beban tersebut dialihkan kepada konsumen melalui penyesuaian tarif listrik.
Dalam skenario kedua, Abra menuturkan, masyarakat dan pelaku industri dapat menghadapi kenaikan tarif listrik, yang pada gilirannya berdampak terhadap daya saing ekonomi dan kesejahteraan rumah tangga, terutama di segmen pengguna listrik bersubsidi.
Akibatnya, sebagian besar proyek EBT dan storage pastinya memerlukan dukungan fiskal, baik dalam bentuk subsidi harga listrik, insentif fiskal, maupun penjaminan risiko.
Jika proyek-proyek tersebut tidak dikelola secara efektif, maka tekanan terhadap APBN akan semakin besar, apalagi di tengah perlambatan pertumbuhan ekonomi dan prioritas belanja negara yang semakin kompleks.
“Potensi liability contingent dari proyek-proyek energi ini perlu dihitung secara transparan dan dimitigasi sejak awal,” jelasnya.
Lebih labjut, Abra menilai meskipun potensi EBT Indonesia sangat besar, realisasi investasi swasta dalam sektor ini masih menghadapi berbagai hambatan, seperti ketidakpastian tarif, proses perizinan yang panjang, dan kepastian pengembalian investasi yang belum menarik.
“RUPTL 2025–2034 tidak akan tercapai tanpa perbaikan fundamental utamanya peningkatan konsumsi listrik per kapita baik dari kelompok pelanggan industri,” jelasnya:
Selain itu, penambahan pembangkit dari EBT juga membutuhkan sistem transmisi dan distribusi yang andal untuk mengakomodasi pembangkit EBT yang bersifat tersebar dan intermiten.
Apalagi, pengembangan sistem penyimpanan energi berskala besar masih sangat terbatas dan mahal. Menurut dia, tanpa percepatan pembangunan infrastruktur pendukung seperti smart grid, interkoneksi antarpulau, dan teknologi penyimpanan, maka target kapasitas baru yang ambisius tersebut sulit diwujudkan secara andal dan efisien.
Untuk mempercepat transisi energi tanpa membebani keuangan negara secara berlebihan, diperlukan skema pembiayaan transisi yang inovatif dan berkelanjutan.
“Misalnya, dengan emanfaatkan blended finance, pembiayaan berbasis hasil (results-based financing), atau skema Just Energy Transition Partnership (JETP),” tuturnya.
APBN harus berperan sebagai katalis, bukan satu-satunya sumber pembiayaan. Tanpa desain fiskal yang hati-hati, dalam jangka panjang transisi energi ini justru bisa menjerumuskan Indonesia ke dalam jurang fiskal yang berbahaya.
RUPTL 2025–2034 memang menjadi langkah strategis menuju sistem kelistrikan yang lebih hijau dan berkelanjutan. Namun, target ambisius tersebut tidak boleh mengabaikan realitas di lapangan, terutama terkait beban keuangan yang harus ditanggung negara.
Abra menerangkan, diperlukan tata kelola yang kuat, perencanaan yang realistis, dan sinergi antara pemerintah, BUMN, swasta, serta lembaga keuangan untuk menjadikan RUPTL ini bukan sekadar dokumen perencanaan, melainkan peta jalan transformasi energi yang benar-benar terimplementasi secara bertahap dan berkelanjutan.