Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah berharap, terbitnya Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2025-2034 dapat menjadi gambaran pengembangan kelistrikan nasional serta tumbuhnya investasi di sektor ini.
Maklum, target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto sebesar 8% perlu langkah besar dan upaya nyata. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengklaim RUPTL PLN teranyar ini lebih realistis dan detail dibandingkan dengan dokumen sebelumnya.
Apalagi, penyusunan RUPTL 2025-2034 sudah disesuaikan dengan RUKN dan KEN. Bahlil optimistis, kalau pemerintah dan PLN tidak melakukan “gerak tambahan” niscaya implementasi RUPTL bisa dijalankan dengan baik.
Dalam dokumen itu, peluang investasi untuk pembangunan pembangkit mencapai Rp2.133,7 triliun, transmisi Rp565,3 triliun, dan lainnya Rp268,4 triliun.
Khusus investasi di sektor pembangkit yang mencapai Rp2.133,7 triliun, sekitar 73% dialokasikan untuk partisipasi produsen listrik swasta atau independent power producer (IPP).
Artinya, investasi yang dialokasikan untuk IPP mencapai Rp1.566,1 triliun. Rinciannya, investasi untuk pembangkit energi baru terbarukan (EBT) senilai Rp1.341,8 triliun dan non-EBT Rp224,3 triliun.
Baca Juga
Angka yang fantastis tersebut bakal memberikan efek berganda untuk perekonomian nasional asalkan tidak hanya di atas kertas.
Pengembangan Storage
Salah satu investasi yang baru dalam RUPTL terkini ialah pengembangan storage sebesar 10,3 gigawatt (GW) yang didistribusikan dari 6 GW pumped storage PLTA dan baterai PLTS sebesar 4,3 GW.
Direktur Eksekutif Energy Shift Institute, Putra Adhiguna, menyoroti target investasi storage sebesar 10,3 GW dalam RUPTL PLN 2025-2034. Menurutnya, bahwa secara keseluruhan, angka investasi storage dalam RUPTL 2025-2034 cukup berimbang.
Ia menegaskan pentingnya pumped storage karena kemampuannya dalam menyediakan kapasitas yang jauh lebih besar, bahkan mencapai ratusan MW dalam sekali pembangunan.
"Pumped storage itu penting ya, dan PLN tanpa adanya investasi di pumped storage kesulitan," ujarnya saat dihubungi Bisnis, Selasa (27/5/2025).
Meskipun pemerintah belum menjelaskan skema investasinya, Putra memperkirakan pengembangannya akan satu paket dengan pembangunan pembangkit listrik. Menurutnya, investasi storage ini menjadi kebutuhan dalam rangka mendorong pembangkit energi terbarukan.
Lesunya Tren Investasi Kelistrikan dan EBT
Sayangnya, Putra menekankan bahwa RUPTL terbaru ini belum tentu secara otomatis direspons positif oleh investor. Pasalnya, tren investasi EBT dan kelistrikan selama enam tahun terakhir mengalami penurunan.
Meskipun paparan Menteri ESDM mungkin menyatakan potensi lonjakan investasi, realitanya selama ini, RUPTL tidak selalu menjadi pedoman utama investasi di sektor kelistrikan.
"Ini barang tidak menjadi indikator investasi. Karena RUPTL tidak selalu menjadi pedoman investasi, buktinya 6 tahun terakhir investasi listrik dan EBT flat," jelasnya.
Merujuk data Kementerian ESDM, tren investasi kelistrikan dalam 6 tahun terakhir memang mengalami penurunan. Pada 2019, realisasi investasi sektor kelistrikan tercatat US$12,1 miliar, sementara pada tahun lalu terjerembab menjadi US$5,3 miliar.
Adapun sektor energi terbarukan terbilang stagnan, mengingat pada 2019 tercatat US$1,7 miliar, sementara pada tahun lalu sebesar US$1,5 miliar.
Kesaktian RUPTL sebagai pedoman investasi kelistrikan juga diragukan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR).
Di Bawah Target
Lembaga riset energi ini menyoroti lemahnya kemampuan eksekusi RUPTL oleh PLN dan lemahnya pengawasan regulator. Ini terlihat dari realisasi pembangkit yang COD sampai semester pertama 2025 yang hanya 1,6 GW dari rencana 10 GW dalam RUPTL 2021-2030.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa mengingatkan bahwa target ini lebih rendah dibandingkan komitmen Just Energy Transition Partnership (JETP) sebesar 56 GW pada 2030 dan tidak selaras dengan kebutuhan untuk membatasi kenaikan temperatur global 1,5 derajat Celcius sesuai Persetujuan Paris.
“Salah satu faktor yang mengancam transisi energi Indonesia dan potensi krisis listrik beberapa tahun mendatang adalah ketidakmampuan PLN melakukan lelang pembangkit energi terbarukan dalam skala besar dalam waktu cepat, serta bertele-telenya proses negosiasi power purchase agreement (PPA),” kata Fabby.
Selain itu, Masuknya PLTN juga perlu dikaji dengan cermat karena belum adanya keputusan resmi dari presiden, minimnya kerangka regulasi yang mengatur keamanan operasi, adanya risiko keamanan yang tinggi, ketidakjelasan teknologi yang akan dipakai serta penerimaan masyarakat yang rendah.
Hanya saja, pemerintah mengaku aturannya sedang disiapkan untuk memastikan agar PLTN dapat beroperasi pada 2032. Bahlil mengaku hati-hati bicara teknologi yang akan diterapkan, karena berhubungan dengan kepentingan negara-negara lain yang telah mengembangkan PLTN terlebih dahulu.
"Jadi mungkin pembangunannya itu lagi 4-5 tahun. Jadi mungkin 2027 sudah mulai on kerjanya. Tapi kita mulai dengan small dulu," ujar Bahlil.
Apabila pengembangan PLTN masih menimbulkan banyak pertanyaan, maka demikian juga dengan pengembangan PLTS, khususnya di Sumatra. Sebelumnya, rencana ekspor listrik rendah karbon ke Singapura digadang-gadang akan bersumber dari Kepulauan Riau.
Sayang, lagi-lagi Menteri ESDM maupun PLN tidak banyak berkomentar mengenai hal ini.
Bahlil mengungkapkan negosiasi terkait rencana ekspor listrik berbasis energi bersih ke Singapura mulai menemui titik terang. Ketua Golkar ini mengaku, tim dari Kementerian ESDM tengah melakukan negosiasi dengan pihak Singapura. Hal ini khususnya untuk mencari solusi saling menguntungkan untuk kedua negara.
Sebab, Bahlil menekankan bahwa ekspor listrik ke Singapura juga harus memberikan keuntungan yang nyata bagi Indonesia. "Dalam waktu cepat. Tidak lama lagi sudah mulai ada tanda-tanda cahaya untuk kesepakatan kita [dengan Singapura] sudah mulai ada," ucap Bahlil.
Di sisi lain, pengembangan PLTS tergolong masif mengingat pengembangannya mencapai 6 GW hingga 2029. Menanggapi hal ini, Ketua Asosiasi Energi Surya Indonesia Mada Ayu Hapsari menyayangkan belum ada pembagian porsi pengembangan PLTS, untuk atap, darat (groundmount), ekspor ataupun terapung (floating).
Pihaknya juga mengakui investasi PLTS juga harus dibarengi dengan investasi jaringan transmisi. “Untuk menyiapkan transmisi memang krusial karena hal tersebut menjadi hal penting untuk pemanfaatan energi terbarukan. PLTS sifatnya yang intermittent maka transmisi yang cerdas jadi penting,” ujarnya.
Perputaran ekonomi hijau tidak hanya datang dari investasi pembangkitan dan transmisi, tetapi juga peluang lapangan kerja. Kementerian ESDM memperkirakan penyerapan tenaga kerja akan terdistribusikan ke sektor industri, manufaktur, konstruksi, operasi, penyaluran, dan lainnya.
Bahlil sendiri mengklaim bahwa RUPTL 10 tahun mendatang ini, bakal mendorong tren pertumbuhan green jobs. Menurutnya, jika dibedah lebih dalam, maka setidaknya ada 836.696 tenaga kerja yang terserap untuk sektor pembangkitan. Adapun 91% datang dari pembangkit energi terbarukan.
“91% merupakan green jobs. Coba bayangkan tuh? [dampaknya]. Kira-kira begitu lah supaya anak muda bisa masuk [mendapatkan lapangan kerja],” katanya.
Keraguan Investor
Deretan angka-angka fantastis di sektor energi terbarukan memang menyegarkan mata, tetapi implementasinya jadi pertanyaan dan dinantikan. Hanya saja, dikhawatirkan investor memberikan respons dingin terhadap RUPTL ini, karena dianggap setengah hati mendorong pengembangan energi terbarukan.
Direktur Eksekutif Centre of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan RUPTL 2025-2034 lebih banyak mengakomodasi kepentingan energi fosil baik batu bara dan gas. Langkah tersebut menjadi ganjalan bagi iklim investasi energi terbarukan di Indonesia.
Menurut Bhima, investor di sektor energi terbarukan dan pembangunan transmisi akan bingung dengan RUPTL. Sebab, pemerintah tidak memiliki rencana yang ambisius dalam transisi energi.
"Misalnya mereka mau membangun industri komponen lokal panel surya dan baterai, ternyata arah pemerintah masih berkutat di instalasi pembangkit batu bara dan teknologi yang mahal. Ada ketidakpastian dari sisi investasi yang membuat daya saing Indonesia tertinggal," kata Bhima dalam keterangan tertulis, Senin (26/5/2025).
Dia juga berpendapat RUPTL anyar ini justru berisiko menjadi batu sandungan bagi penciptaan lapangan kerja dan motor pertumbuhan ekonomi.
"Apa RUPTL ini menjawab target pertumbuhan 8%? Saya rasa tidak sama sekali. Tidak ada cara lain, pemerintah harus segera melakukan revisi RUPTL dengan menghapus rencana pembangunan pembangkit fosil," katanya.