Bisnis.com, JAKARTA — Reksa dana yang diperdagangkan atau exchange traded fund (ETF) berlabel environmental, social and governance (ESG) di kawasan Asia Pasifik berhasil menarik aliran dana sebesar US$2,6 miliar atau sekitar Rp43 triliun sepanjang kuartal I/2025. Nilai ini naik dua kali lipat dibandingkan dengan tahun lalu.
Performa ini sejalan dengan performa positif dana ESG di China, dibandingkan dengan ETF konvensional yang menorehkan arus keluar imbas dari perang tarif. Bloomberg Intelligence mencatat bahwa para investor China ikut terlibat dalam upaya stabilisasi pasar ETF sepanjang April.
Secara kumulatif, investasi US$2,6 miliar yang masuk ke dana ESG merepresentasikan 30,2% aliran dana masuk ke pasar ETF selama kuartal I/2025 di Asia-Pasifik, kecuali Jepang.
Persentase kontribusi ini naik signifikan dibandingkan kuartal I/2024 yang hanya sebesar 1,5%. Kenaikan pangsa yang signifikan terutama disebabkan oleh besarnya arus keluar investasi dari dana non-ESG, terutama yang berdomisili di China.
Sebagaimana diketahui, pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan sederet tarif baru yang menyasar barang-barang impor asal China pada Maret 2025. Menghadapi situasi ini, investor cenderung mengurangi eksposur mereka terhadap instrumen investasi asal China.
Sepanjang April, dana dengan besaran mendekati US$10 miliar tercatat hengkang dari China. Meski demikian, ETF China dengan label ESG tetap mampu menarik arus masuk sebesar US$154 juta pada kuartal I/2025.
Baca Juga
Di tengah resiliensi pasar ETF China, Taiwan masih bertengger di peringkat teratas sebagai kawasan yang menarik aliran masuk dana ESG terbesar selama kuartal I/2025, yakni sebesar US$2,2 miliar, meskipun sempat mengalami kontraksi kecil pada Februari setelah DeepSeek AI dari China mengguncang pasar.
Adapun aliran masuk ke dana yang berbasis di China mencapai US$200 juta yang didorong oleh dana bertema tenaga surya yang besar. Hal ini melawan tren aliran keluar selama empat kuartal berturut-turut.
Harapan untuk industri surya sempat meningkat pada kuartal pertama setelah perusahaan-perusahaan China setuju mengurangi kapasitas berlebih. Namun, optimisme ini memudar dengan munculnya ancaman tarif dari AS serta laporan pendapatan mengecewakan dari perusahaan besar seperti Longi Green.
Di sisi lain, regulasi dana ESG di kawasan Asia-Pasifik, kecuali Jepang, terus mengejar standar Uni Eropa (UE).
“Meskipun perubahan regulasi dapat menghambat peluncuran dan arus masuk dana dalam jangka pendek, kebijakan yang solid akan meningkatkan kepercayaan investor dalam jangka panjang serta meningkatkan penetrasi dana,” tulis Bloomberg Intelligence.
Lingkungan politik di kawasan Asia Pasifik dinilai lebih mendukung aturan dana ESG dibandingkan dengan Amerika Serikat, di mana terdapat perlawanan yang makin kuat seiring dengan kembalinya Trump.