Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rapor Penurunan Emisi Karbon ANTM, SMGR dan INTP, Mana yang Dekati Target Global?

Laporan Bloomberg Intelligence menunjukkan bahwa operasional korporasi Indonesia di sektor intensif karbon masih jauh dari target penurunan emisi global
Asap hasil pembakaran pembangkit batu bara yang menyumbang hampir separuh pasokan energi di Asia Pasifik. /Bloomberg-Taylor Weidman
Asap hasil pembakaran pembangkit batu bara yang menyumbang hampir separuh pasokan energi di Asia Pasifik. /Bloomberg-Taylor Weidman

Bisnis.com, JAKARTA — Laporan BI Carbon yang dirilis Bloomberg Intelligence mengungkap bahwa sejumlah perusahaan Indonesia masih tertinggal dalam hal transisi rendah karbon, dibandingkan dengan pelaku bisnis serupa di negara lain.

Pemantauan pada 490 korporasi penghasil 55% emisi karbon perusahaan tercatat menunjukkan bahwa Tokyo Electric Power, perusahaan tambang asal Luxemburg ERG, PSEG dari New York, dan BNP Paribas memimpin transisi rendah karbon dari sektor paling intensif emisi.

Penilaian tersebut mencakup tren pengurangan emisi masa lalu dan masa depan serta intensitasnya, serta penilaian posisi relatif perusahaan terhadap pencapaian target kenaikan suhu maksimal 1,5 derajat Celsius.

Dari sektor semen, hanya empat dari 16 perusahaan dalam penilaian yang memiliki target yang sejalan dengan skenario net zero International Energy Agency (IEA). Skenario tersebut berisi penurunan intensitas karbon sebesar 0,45 (ton CO2e/ton semen) pada 2030.

Industri semen sendiri menyumbang 7% emisi global dan produksi semen diperkirakan meningkat rata-rata 32% pada 2030. Kondisi ini dapat menyebabkan kenaikan emisi absolut pada tahun tersebut.

Meskipun semua perusahaan dalam daftar berhasil mengurangi intensitas emisi dalam lima tahun terakhir, sebagian besar target pengurangan emisi mereka dinilai belum cukup agresif untuk mencapai tolok ukur pada 2030. 

Bloomberg Intelligence mencatat Heidelberg Materials AG, Cemex SAB de CV,  CRH Plc. dan Holcim AG sebagai perusahaan semen dengan skor BI Carbon teratas. Sementara itu, dua perusahaan semen asal Indonesia, PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. (INTP) dan PT Semen Indonesia (Persero) Tbk. (SMGR) masing-masing menempati peringkat ke-8 dan 10 dengan skor total 3,34 dan 2,95.

Mengutip laporan keberlanjutan INTP untuk 2024, intensitas emisi netto perusahaan pada kurun 2022–2024 cenderung turun, dari 0,558 ton CO2e/ton semen pada 2022 menjadi 0,533 ton CO2e/ton semen pada 2024. Meski demikian, intensitas ini masih di atas target yang ditetapkan IEA.

Sementara itu, SMGR melaporkan intensitas emisi di angka 0,57 ton CO2e/ton semen pada 2030. Angka ini 19% lebih rendah daripada acuan (baseline) 2010 dan masih jauh dari target yang dipatok perusahaan sebesar 0,515 ton CO2e/ton semen pada 2030.

PT Aneka Tambang Tbk. (ANTM) atau Antam menorehkan rapor yang jauh dari target penurunan emisi karbon jika dibandingkan dengan deretan perusahaan lain dalam daftar BI Carbon. 

Bloomberg Intelligence mengungkap bahwa Fortescue, Boliden, dan OZ Minerals memimpin rapor, dengan Fortescue dan OZ Minerals menjadi satu-satunya perusahaan yang menetapkan tujuan netral karbon pada 2030. Namun, dari 48 perusahaan yang dievaluasi, hanya 17 yang memiliki target sejalan dengan pembatasan pemanasan global hingga 1,5 derajat Celsius.

ANTM sendiri menempati peringkat ke-46 dari 48 perusahaan yang dievaluasi dengan skor keseluruhan 0,788. Sebagai perbandingan, Fortescue dan Boliden di peringkat teratas memiliki skor 9,84 dan 9,82.

Mengutip laporan keberlanjutan ANTM untuk 2024, unit bisnis pembangkitan (UBP) Nikel Kolaka menjadi penyumbang intensitas emisi terbesar dalam tiga tahun terakhir, yakni sebesar 65,28 ton CO2e/ton nikel pada 2022 menjadi 64,87 ton CO2e/ton nikel pada 2024.

Laporan Bloomberg Intelligence menyebutkan bahwa perusahaan aluminium menghadapi risiko terbesar imbas dari tingginya intensitas karbon. Potensi biaya dari kondisi ini mencapai 0,6% dari EBITDA pada 2024–2025 di bawah sistem perdagangan emisi Eropa.

Sementara itu, biaya untuk logam dasar dan logam mulia lainnya diperkirakan turun tajam karena intensitas karbon yang lebih rendah.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper