Bisnis.com, JAKARTA — Permintaan terhadap pusat data di Asia Tenggara (South East Asia/SEA) tumbuh pesat dengan tingkat pertumbuhan tahunan gabungan sebesar 19% hingga tahun 2030. Hal ini didorong oleh beban kerja berbasis artificial intelligence (AI) maupun non-AI.
Partner dan Co-Director Global Sustainability Innovation Center di Bain & Company Dale Hardcastle mengatakan pusat data berpotensi menyumbang hingga 2% dari total emisi di enam negara utama Asia Tenggara (SEA-6), namun tren ini dapat berubah seiring dengan kemajuan dalam perangkat keras, perangkat lunak, dan peningkatan penggunaan energi bersih.
"Pertumbuhan pusat data yang berkelanjutan akan membutuhkan solusi energi hijau yang beragam dengan perluasan akses terhadap jaringan energi bersih menjadi faktor kunci," ujarnya dalam laporan Southeast Asia’s Green Economy, Selasa (6/5/2025).
Hal ini termasuk memfasilitasi pengadaan energi melalui perjanjian pembelian listrik (power purchase agreements) atau melalui mekanisme kompensasi karbon (offset) yang memiliki integritas tinggi.
AI juga membuka peluang besar untuk mengurangi emisi sebesar 3% hingga 5% di sektor-sektor dengan tingkat emisi tinggi seperti pertanian dan alam, energi listrik, serta transportasi. Untuk mengoptimalkan potensi ini, diperlukan investasi yang terarah, dukungan kebijakan, dan adopsi teknologi yang berskala besar.
Kepala Regional Sustainability APAC Google Spencer Low menuturkan perlu mengelola jejak lingkungan dari AI dan data center secara lebih bertanggung jawab melalui optimalisasi model, infrastruktur yang efisien, dan pengurangan emisi.
Baca Juga
"Google sedang berupaya mencapai target energi bebas karbon 24/7, dengan investasi katalis di seluruh kawasan Asia-Pasifik, termasuk yang terbaru di sektor panas bumi dan energi angin lepas pantai. Yang tidak kalah penting adalah kebutuhan untuk mengidentifikasi dan memperluas penerapan AI yang mendorong pengurangan emisi di sektor jaringan listrik, pertanian, manufaktur, dan sektor-sektor lainnya," katanya.