Bisnis.com, JAKARTA — Daya dukung lingkungan Indonesia dinilai telah mendekati ambang batas, seiring dengan masifnya alih fungsi hutan dan lahan untuk kebutuhan perkebunan monokultur seperti sawit. Sawit Watch berpandangan ekspansi komoditas ini perlu dibatasi.
Laporan teranyar Badan Informasi Geospasial (BIG) dan Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa luas tutupan sawit mencapai 17,3 juta hektare (ha) pada 2024. Luas tutupan ini naik dibandingkan dengan 16,38 juta ha yang tertuang dalam Kepmen Nomor 833/2019 tentang Penetapan Luas Tutupan Kelapa Sawit Indonesia.
“Hasil perhitungan kami, daya dukung lingkungan kita untuk perkebunan sawit itu ambang batasnya adalah 18,3 juta hektare. Kalau di atas itu, lingkungan tidak bisa lagi menerima. Sementara sekarang sudah di 17,3 juta hektare,” kata Rambo dalam Forum Editor: Potret Konflik Sawit dan Pentingnya Penerapan Prinsip Keberlanjutan di Aryaduta Menteng, Jakarta, Rabu (30/4/2025).
Rambo mencatat status daya dukung lingkungan cenderung berbeda-beda di setiap daerah. Dia mengatakan kondisi ekosistem yang tidak lagi mendukung terlihat di provinsi-provinsi dengan luas perkebunan sawit terbesar.
“Kalau melihat berdasarkan kabupaten, berdasarkan provinsi, itu banyak wilayah yang sebenarnya sudah melampaui [ambang batas] atau kadang ada yang belum melampaui. Namun kebanyakan wilayah Kalimantan, Sumatra itu sudah melampaui. Jadi harusnya dua wilayah itu harus setop [ekspansi sawit],” imbuhnya.
Mengutip laporan Badan Pusat Statistik (BPS), luas tanaman sawit di Riau menempati peringkat pertama dengan luas mencapai 2,86 juta ha pada 2023. Kemudian Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur menyusul dengan luas masing-masing 2,20 juta ha dan 2,19 ha.
Baca Juga
Sawit Watch mencatat ekspansi perkebunan sawit kini telah merambah provinsi-provinsi di luar Sumatra dan Kalimantan. Dua wilayah dengan tren kenaikan area tanaman sawit dalam beberapa tahun terakhir mencakup Sulawesi dan Papua.
Sebagai contoh, luas tanaman sawit di Papua mencakup area seluas 51.400 ha pada 2014, tetapi naik dan mencapai 143.600 ha pada 2023.
“Bukan berarti wilayah yang daya dukungnya masih ada harus jadi sasaran ekspansi, ada banyak pertimbangan untuk membatasi, dari kondisi cadangan karbon misal,” kata Rambo.