Bisnis.com, JAKARTA — Penerbitan surat utang berbasis environmental, social and governance (ESG) di kawasan Asia-Pasifik (APAC) selama kartal I/2025 hanya mencapai US$73,9 miliar, terendah sejak kuartal IV/2021 dan turun 30% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Hanya obligasi berkelanjutan (sustainability bond) dan obligasi terkait keberlanjutan (sustainability-linked bond) yang mencatat peningkatan dibandingkan tahun lalu.
Mengutip laporan Bloomberg Intelligence, obligasi hijau (green bond) tetap menjadi jenis sekuritas terbesar yang diterbitkan selama Januari–Maret 2025 dengan nilai sebesar US$33,7 miliar, stagnan dibandingkan dengan 2024.
Pinjaman menyusul dengan nilai penerbitan sebesar US$13,2 miliar atau turun 61% year on year (YoY), kemudian obligasi berkelanjutan naik 37% menjadi US$12 miliar. Penerbitan obligasi sosial dan obligasi transisi mengalami penurunan tajam, sementara obligasi terkait keberlanjutan mencapai US$1,8 miliar atau naik 12% dari tahun lalu, tetap berada di level terendah secara total.
Bank Pertanian China menjadi penerbit terbesar di kawasan ini dengan selisih yang signifikan dibandingkan peringkat kedua. Entitas ini menyumbang US$8,2 miliar penerbitan obligasi hijau atau sekitar 11% dari total penerbitan surat utang ESG di Asia Pasifik selama tiga bulan pertama tahun ini.
Korea Housing Finance Corp. menempati posisi kedua dengan nilai penerbitan US$2,8 miliar untuk obligasi sosial. Kemudian Terra Solar Philippines (US$2,6 miliar pinjaman hijau) menyusul di peringkat selanjutnya dan pemerintah Jepang (US$2,3 miliar obligasi transisi hijau) berada di peringkat keempat.
Pemerintah Filipina menempati posisi kelima dengan penerbitan US$2 miliar obligasi berkelanjutan di kuartal I/2025. Di antara 10 penerbit teratas, empat menerbitkan obligasi hijau dan empat lainnya berasal dari sektor pemerintah.
Baca Juga
Sementara itu, sektor keuangan menjadi penyumbang terbesar penerbitan surat utang ESG, diikuti oleh sektor pemerintahan. Sepanjang tiga bulan pertama 2025, sektor keuangan mencatat penerbitan surat utang ESG senilai US$24,2 miliar, turun 22% dibandingkan dengan tahun lalu. Angka ini melampaui penerbitan dari sektor pemerintah yang turun 39% menjadi US$22,1 miliar.
Kedua sektor tersebut tercatat menyumbang 63% dari total penerbitan obligasi ESG sejauh ini. Adapun sektor utilitas menempati posisi ketiga dengan nilai US$7,5 miliar atau naik 80% secara tahunan, diikuti sektor industri dengan US$7,4 miliar yang mencerminkan kenaikan 19% YoY.
Entitas dari China tercatat mendominasi penerbitan surat utang di Asia Pasifik, dengan nilai US$27,3 miliar atau naik 37% YoY. China tercatat menggeser Jepang yang selama kuartal I/2025 hanya menerbitkan surat utang senilai US$9,8 miliar atau turun 58% secara tahunan.
Korea Selatan yang menempati posisi ketiga mencatatkan penurunan sebesar 33% menjadi US$9,7 miliar. Kemudian Australia dan Filipina melengkapi lima besar dengan nilai masing-masing US$7,2 miliar dan US$5,6 miliar.
Negara berkembang menyumbang 70% dari penerbitan surat utang ESG di Asia Pasifik pada kuartal I/2025, meningkat 17% dari periode yang sama tahun lalu dan melampaui rata-rata 2020–2024 sebesar 63%.
Terpisah, penurunan penerbitan dari negara maju terutama disebabkan oleh meningkatnya penerbitan dari pemerintah dan lembaga di emerging markets seperti China, Korea Selatan, dan Filipina. Dana yang dihimpun dari penerbitan surat utang ini mayoritas digunakan dalam pembiayaan hijau untuk mendukung agenda keberlanjutan mereka.