Bisnis.com, JAKARTA – Belakangan ini, tawaran untuk membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) berdatangan untuk Indonesia seperti dari Amerika Serikat, China, dan Rusia. Salah satu teknologi yang ditawarkan adalah reaktor garam cair (molten salt reactor/MSR) yang saat ini memang tengah dikembangkan oleh banyak negara.
Namun, tak banyak orang tahu mengenai MSR. Untuk itu, Badan Energi Atom Internasional (International Atomic Energy Agency/IAEA) merilis sebuah tulisan khusus mengenai hal ini dengan tajuk What are Molten Salt Reactors? yang dipublikasikan pada Selasa (11/3/2025).
Dalam tulisan tersebut menunjukkan bahwa MSR adalah reaktor fisi nuklir yang bahan bakar dan/atau pendinginnya berupa garam cair. Garam cair di sini adalah garam yang mencair pada suhu tinggi dan dapat menyimpan sejumlah besar energi termal pada tekanan atmosfer.
Artikel yang ditulis oleh Emma Midgley dari Kantor Informasi Publik dan Komunikasi IAEA itu mengungkapkan bahwa apabila digunakan sebagai bahan bakar, garam cair dilarutkan dengan bahan fisil. Adapun, imbuhnya, bahan fisil didefinisikan sebagai bahan yang mampu mengalami fisi (reaksi di mana inti atom terbelah menjadi dua untuk melepaskan energi).
Menurutnya, hal ini terjadi setelah inti atom dihantam oleh neutron berenergi tinggi (cepat) atau neutron berenergi rendah (lambat). Contoh bahan fisil adalah Uranium-235, Plutonium-239 atau Uranium-233 yang dapat dicampur dengan bahan fisil lainnya seperti Uranium-238.
“Minat internasional terhadap MSR meningkat, karena MSR berpotensi menyediakan listrik dalam jumlah besar yang efisien dan hemat biaya serta menghasilkan panas proses bersuhu tinggi yang dapat digunakan untuk berbagai aplikasi industri,” tulisnya seperti dikutip dari laman IAEA, Selasa (11/3/2025).
Dia mengungkapkan bahwa keunggulan yang sama dimiliki reaktor berpendingin gas bersuhu tinggi (high-temperature gas-cooled reactor/HTGR). Reaktor ini menggunakan gas helium sebagai pendingin, bukan garam cair.
Namun demikian, Emma menambahkan bahwa garam dapat menyerap sejumlah besar panas pada tekanan atmosfer, sehingga reaktor yang menggunakan teknologi MSR dapat beroperasi pada suhu yang sangat tinggi.
“Hal ini pada gilirannya dapat memungkinkan produksi panas bermutu tinggi, sehingga membuka kemungkinan dekarbonisasi proses industri seperti produksi hidrogen untuk baja hijau tanpa sejumlah besar gas rumah kaca (GRK) yang saat ini dipancarkan saat memproduksi hidrogen dengan bahan bakar fosil,” tulisnya.
Emma mengungkapkan bahwa reaktor ini memiliki sejumlah keunggulan lain. Pertama, jejak limbah nuklir tingkat tinggi yang kecil. Dia mengatakan bahwa sejak dikembangkan pada 1950an, beberapa desain MSR yang lebih baru tidak memerlukan bahan bakar padat. MSR dengan teknologi bahan bakar cair menghasilkan lebih sedikit limbah nuklir tingkat tinggi lantaran suhu pembakaran yang lebih tinggi.
Kedua, fitur keselamatan pasif. Menurutnya, MSR secara umum memiliki fitur keselamatan pasif, elemen desain yang meningkatkan keselamatan melalui prinsip fisik alami tanpa memerlukan campur tangan manusia.
“Misalnya, jika reaktor dalam MSR terlalu panas, garam cair mengembang dan secara alami meningkatkan kebocoran neutron dari inti reaktor, yang berarti mereka tidak lagi tersedia untuk menyebabkan fisi. Ini mengurangi laju fisi nuklir dan suhu,” katanya.
Ketiga, opsi siklus bahan bakar berkelanjutan. Emma menjelaskan bahwa uranium, plutonium, dan thorium semuanya dapat dilarutkan dalam komposisi garam yang sesuai, yang berarti bahwa MSR berpotensi beradaptasi dengan berbagai siklus bahan bakar nuklir (seperti siklus uranium-plutonium dan thorium-uranium), yang memungkinkan siklus bahan bakar yang lebih berkelanjutan.
Dia mengungkapkan bahwa pemanfaatan plutonium secara lebih efektif akan menghilangkan sebagian besar limbah yang dihasilkan dalam reaktor air ringan saat ini yang menggunakan bahan bakar ini. Selain itu, imbuhnya, thorium tiga kali lebih melimpah daripada uranium, dan lebih mudah ditambang.
Kendati demikian, sejumlah desain MSR saat ini sedang dalam tahap pengembangan. Di Kanada konsep reaktor modular kecil (small modular reactor/SMR) berbasis garam cair telah melewati tinjauan desain vendor pra-lisensi pada 2023.
“Proyek-proyek lain, termasuk China, Rusia, dan Amerika Serikat terus mengalami kemajuan, dengan harapan bahwa MSR dapat mulai digunakan paling cepat pada pertengan 2030-an,” ujarnya.
AKSI MYANMAR
Pada Selasa (4/3/2025), sebuah perjanjian antarpemerintah tentang prinsip-prinsip kerja sama dalam pembangunan SMR di Myanmar telah ditandangani saat kunjungan kenegaraan Myanmar ke Rusia.
Hal tersebut terungkap dalam keterangan resmi Rosatom State Corporation (Rosatom). Pada keterangan resmi tersebut, dokumen itu diteken di hadapan Presiden Rusia Vladimir Putin dan Jenderal Senior Myanmar Min Aung Hlaing.
Dokumen tersebut diteken oleh Direktur Jenderal Rosatom Alexey Likhachev dan Menteri Sains dan Teknologi Myanmar Myo Thein Kyaw.
“Perjanjian antarpemerintah mengatur kondisi dan arah utama interaksi antara para pihak dalam kerangka pelaksanaan proyek SMR 110 MW [megawatt] dengan kemungkinan perluasan lebih lanjut hingga 330 MW,” tulis manajemen Rosatom.
Bisnis.com mencatat bahwa pada Februari 2023, Rusia dan Myanmar juga telah menandatangani perjanjian antarpemerintah tentang kerja sama penggunaan energi atom secara damai. Perjanjian tersebut menandai tonggak penting dalam pengembangan kerja sama energi nuklir kedua negara. Kala itu, kedua negara sepakat untuk melaksanakan pembangunan SMR di Myanmar.
Adapun, Rosatom memiliki teknologi acuan untuk pembangunan SMR, baik di lepas pantai maupun di darat. Lewat reaktor RTM-200 terbaru dan keahlian luas dalam menjalankan reaktor kecil di atas kapal pemecah es nuklir Rusia, sebuah proyek saat ini tengah berlangsung untuk membangun SMR darat di Yakutia.
Selain itu, satu-satunya PLTN terapung dunia, Akademik Lomonosov, saat ini sedang beroperasi di Chukotka Autonomous Okrug. Pada 2024, Rosatom juga menandatangani kontrak ekspor pertama dengan Uzbekistan untuk pembangunan SMR.
“Rencananya proyek ini akan membangun PLTN dengan kapasitas 330 MW di wilayah Jizzakh, Uzbekistan, menggunakan teknologi SMR yang dikembangkan Rusia,” tulis Rosatom.
LANGKAH INDONESIA
Di sisi lain, Indonesia memang tengah mendorong pemanfaatan energi nuklir sebagai bagian dari transisi menuju energi bersih guna mendukung pembangunan ekonomi dan industri nasional. Oleh sebab itu, pada akhir Februari 2025, lokakarya bertajuk Indonesian-Russian Workshop on Nuclear Energy Solutions and Socio-Economic Effects of NPP Construction dilaksanakan di Bandung, Jawa Barat guna memperdalam pemahaman tentang teknologi nuklir.
Pada kesempatan tersebut, Kepala Pusat Riset Teknologi Reaktor Nuklir Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Topan Setiadipura mengungkapkan bahwa Indonesia perlu bergerak cepat untuk mencapai target pemerintah dalam penerapan teknologi nuklir secara komersial pada 2030-2034.
"Waktunya sangat singkat, sehingga kita perlu belajar dari negara-negara yang telah lebih dahulu mengimplementasikan teknologi ini, baik dari pengembangnya, seperti Rosatom Rusia, maupun dari negara pengguna seperti Turki dan Hungaria," jelasnya dalam keterangan resminya.
Menurutnya, pihaknya ingin memahami alasan teknis dan sosial-ekonomi dibalik pemilihan nuklir sebagai sumber energi serta dampaknya bagi pengembangan energi dan industri nasional mereka.
Dalam lokakarya itu, Kepala Kantor Perwakilan Rosatom di Indonesia Anna Belokoneva menegaskan pentingnya berbagi pengalaman dalam pengembangan proyek nuklir nasional.
"Saya sangat senang melihat antusiasme rekan-rekan di Indonesia dalam menyelenggarakan lokakarya ini. Para ahli dari Moskow hadir untuk berbagi wawasan mengenai teknologi nuklir, pembangunan infrastruktur, pengembangan sumber daya manusia, serta manfaat dari proyek nuklir nasional," katanya.
Adapun, Duta Besar Rusia untuk Indonesia Sergei Tolchenov mengatakan bahwa pihaknya menawarkan MSR sebagai solusi transisi energi yang tengah dilakukan oleh Indonesia. Hal tersebut terungkap saat ia berkunjung ke Redaksi Bisnis Indonesia pada medio Februari 2025.
Dia menjelaskan bahwa tawaran ini tak terlepas dari keunggulan Rosatom yang telah mengoperasikan reaktor jenis ini di Rusia.
“[Lokasi] darat atau terapung itu tergantung permintaan Indonesia. [Bahan bakarnya] uranium,” katanya.
Jauh sebelum tawaran Rusia, Bisnis.com mencatat bahwa perusahaan asal Amerika Serikat lewat PT ThorCon Power Indonesia juga menawarkan pembangunan PLTN berbasis teknologi MSR untuk Indonesia.
Namun, ThorCon bakal memanfaatkan bahan baku thorium untuk reaktor tersebut. Pada akhir 2023, manajemen ThorCon mengungkapkan bahwa nilai investasi pembangunan Thorium Molten Salt Reactor (TSMR) untuk Indonesia dengan daya 500 MW diproyeksi dapat mencapai Rp17 triliun.
“ThorCon siap untuk memulai konstruksi dan mengharapkan dapat mulai beroperasi komersial pada 2030,” kata Direktur Utama PT ThorCon Power Indonesia David Devanney kala itu.