Bisnis.com, JAKARTA – Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) digadang-gadang bisa menjadi solusi atas kekurangan pendanaan yang cukup besar untuk pengembangan energi terbarukan dan transisi energi.
Danantara berpeluang menjadi pengelola pungutan industri ekstraktif khususnya batu bara dan nikel, serta kelapa sawit.
Pungutan ketiga komoditas ini bisa memberikan tambahan dana yang besar untuk kebutuhan transisi energi dari energi fosil ke energi bersih dan terbarukan, yang targetnya mencapai 25% dari bauran energi pada tahun ini.
Dana ini berasal dari nilai maksimal pungutan produksi batu bara sebesar Rp353 triliun, tarif ekspor nikel sebesar Rp107 triliun, dan tarif ekspor crude palm oil (CPO) sebesar Rp92 triliun per tahun.
Direktur Eksekutif Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (Sustain) Tata Mustasya mengatakan pungutan produksi batu bara juga diperlukan untuk distribusi ekonomi dan memasukkan eksternalitas negatif ke dalam harga.
“Industri batu bara masih memberikan keuntungan di atas rata-rata (super normal profit) terlepas dari kondisi pasar yang naik turun. Industri batu bara bisa memberikan tambahan dana kepada negara hingga Rp353,7 triliun per tahun,” ujarnya, dalam keterangan tertulis, Rabu (5/3/2025).
Baca Juga
Saat ini, Indonesia menghadapi tantangan pendanaan yang cukup besar untuk pengembangan energi terbarukan. Di sisi lain, penanaman modal di sektor ini terbilang stagnan dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan perhitungan IEEFA, Indonesia butuh US$146 miliar atau Rp2.384 triliun untuk mencapai target iklim 2030.
Tata menambahkan penggunaan dana dari Danantara menjadi solusi terbaik untuk mengejar target pengembangan energi bersih dan terbarukan. “Harusnya itu [EBT] yang mendapat prioritas khusus, jangan justru mengalokasikan pendanaan bagi proyek bahan bakar fosil, yaitu gasifikasi batu bara menjadi DME,” tambahnya.
Sementara itu, Chief Investment Officer Danantara Pandu Sjahrir tidak berkomentar mengenai hal ini, saat dihubungi Bisnis.