Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Perdagangan Karbon RI Butuh Dukungan Insentif dan Disinsentif agar Bergairah

Indonesia memerlukan insentif dan disinsentif bagi penghasil emisi karbon agar lebih aktif dalam menurunkan emisi.
Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Republik Indonesia (KLH/BPLH), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan PT Bursa Efek Indonesia (BEI) meresmikan Perdagangan Internasional Perdana Unit Karbon Indonesia melalui Bursa Karbon Indonesia (IDXCarbon) di Main Hall BEI, Senin (20/1/2025)./OJK
Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Republik Indonesia (KLH/BPLH), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan PT Bursa Efek Indonesia (BEI) meresmikan Perdagangan Internasional Perdana Unit Karbon Indonesia melalui Bursa Karbon Indonesia (IDXCarbon) di Main Hall BEI, Senin (20/1/2025)./OJK

Bisnis.com, JAKARTA — Dewan Energi Nasional (DEN) menilai perlunya dorongan lebih besar untuk menggairahkan bursa karbon di Indonesia. Penerapan perdagangan karbon dinilai penting sebagai langkah transisi energi tanpa mengorbankan industri

Anggota DEN Satya Widya Yudha mengatakan Indonesia memerlukan insentif dan disinsentif bagi penghasil emisi karbon agar 'terpaksa' menurunkan emisinya. Hal ini dilakukan guna mendukung dekarbonisasi untuk menciptakan ekosistem industri hijau. 

"Ekosistem daripada ekonomi hijau di Indonesia itu belum establish, karena carbon tax belum juga diaplikasikan walaupun itu sudah diputuskan pada 2021, sehingga tidak ada risk atau reward yang bisa diberikan kepada industri apabila mereka kita paksa untuk mengurangi emisinya secara drastis," kata Satya dalam Bisnis Indonesia Forum, Rabu (12/2/2025). 

Menurut dia, perdagangan karbon memiliki potensi yang besar untuk mendukung penurunan emisi. Buktinya, upaya tersebut efektif dilakukan The European Union Emissions Trading System (EU ETS) yang berhasil menurunkan emisi industri hingga 47% sejak 2005. 

Kendati demikian, dia menekankan bahwa cara transisi energi setiap negara berbeda. Bagi Indonesia, ketahanan energi dan jaminan ketersediaan pasokan menjadi yang utama. 

"Kita tidak ingin mengadopsi apa yang dilakukan oleh negara-negara Eropa yang sejatinya membuat kita nanti akan kekurangan pasokan, karena semua akan di renewable kan, sementara kita punya fosil, kita tidak maksimalkan karena kita menuju ke energi baru terbarukan, Indonesia tidak memilih kesana," tuturnya. 

Namun, Indonesia tetap memiliki peluang besar dalam lingkup pasar karbon. Bahkan, RI digadang-gadang menjadi negara dengan potensi karbon kredit terbesar di Asia Tenggara dengan hutan yang luas dan proyek EBT. 

Hal tersebut tentunya membutuhkan upaya lebih dari berbagai stakeholder untuk mengoptimalkan ekosistem ekonomi karbon untuk mitigasi perubahan iklim, sekaligus membuka peluang investasi hijau. 

Di samping itu, dalam catatannya, Satya tak memungkiri terdapat beberapa tantangan dalam perdagangan karbon. Beberapa di antaranya yaitu harga kredit karbon yang dapat berfluktuasi secara signifikan, berbagai negara dan wilayah memiliki aturan dan standar berbeda untuk perdagangan karbon. 

Tak hanya itu, diperlukan sistem pemantauan dan verifikasi yang kuat untuk mencegah penipuan dan memastikan integritas pasar karbon. Tantangan lainnya yakni manipulasi pasar, dan tidak semua industri dan perusahaan wajib berpartisipasi dalam skema perdagangan karbon. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper