Bisnis.com, JAKARTA — Sejumlah negara penghasil emisi terbesar melewatkan batas akhir penyampaian target iklim baru kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Keterlambatan ini terjadi di tengah tekanan yang meningkat dalam upaya menangkal dampak perubahan iklim setelah terpilihnya Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Nyaris 200 negara yang menandatangani Perjanjian Paris menghadapi batas waktu pelaporan Second Nationally Determined Contributions (NDC) yang jatuh pada Senin (10/2/2025). Second NDC memuat rencana iklim nasional termutakhir serta perincian pemangkasan emisi hingga 2035.
Terlepas dari tenggat tersebut, negara penghasil emisi terbesar seperti China, India dan Uni Eropa terpantau belum menyampaikan komitmen iklim terbaru mereka, termasuk Indonesia.
"Publik berhak mengharapkan respons kuat dari pemerintah mereka mengingat pemanasan global telah mencapai 1,5 derajat Celsius selama setahun penuh. Namun, hampir tidak ada langkah nyata yang diambil," kata Bill Hare, CEO lembaga riset kebijakan dan sains Climate Analytics sebagaimana dikutip dari Reuters, Selasa (11/2/2025).
Perjanjian Paris yang lahir pada 2015 merupakan kesepakatan iklim yang berisi komitmen para negara untuk mencegah pemanasan global melebihi 1,5 derajat Celsius dibandingkan dengan kondisi sebelum era industri.
Meski demikian, langkah-langkah pencegahan pemanasan global dan mitigasi perubahan iklim cenderung masih jauh dari target yang dipatok. Hal ini terlihat dari kenaikan suhu rata-rata bumi pada 2024 yang untuk pertama kalinya melampaui ambang batas 1,5 derajat Celsius.
Sejumlah ekonomi besar, termasuk AS, Inggris, Brasil, Jepang, dan Kanada, telah mengumumkan target iklim baru. AS di bawah pemerintahan Joe Biden pada Desember 2024 mengumumkan target pengurangan emisi sebesar 61-66% pada 2035. Sementara itu, Inggris membidik target ambisius pemangkasan emisi sebesar 81% dibandingkan dengan level pada 1990.
Namun target iklim AS diperkirakan tidak akan dieksekusi, seiring dengan keputusan Donald Trump untuk keluar dari Perjanjian Paris. Trump juga menghentikan sebagian pendanaan federal untuk energi bersih.
View this post on Instagram
Kepala iklim PBB Simon Stiell mengatakan pekan lalu bahwa sebagian besar negara masih berencana menyerahkan target mereka tahun ini.
"Negara-negara sangat serius dalam menyusun rencana ini dan ini tidak mengherankan, mengingat ia akan menentukan arah investasi senilai US$2 triliun,” kata Stiell, merujuk pada investasi global dalam energi bersih dan infrastruktur pada 2024.
"Jadi, mengambil sedikit lebih banyak waktu untuk memastikan rencana ini benar-benar matang adalah langkah yang masuk akal," tambahnya.
Namun, kegagalan memenuhi tenggat waktu ini makin memperkuat kekhawatiran bahwa agenda iklim telah tergeser dari prioritas utama pemerintah. Beberapa pejabat bahkan mengisyaratkan bahwa perubahan kebijakan iklim AS di bawah Trump telah menghambat upaya negara lain.
Kepala kebijakan iklim Uni Eropa Wopke Hoekstra mengatakan kepada Reuters bulan lalu bahwa siklus kebijakan blok tersebut tidak selaras dengan tenggat waktu PBB, tetapi Brussel akan menyiapkan rencana mereka sebelum KTT Iklim COP30 pada November mendatang.
India, di sisi lain, masih menyelesaikan studi yang diperlukan untuk merancang target iklimnya, menurut seorang pejabat pemerintah yang dikutip Reuters.
Sementara itu, juru bicara Kementerian Luar Negeri China mengatakan pada Senin bahwa negaranya akan mengumumkan target iklimnya ketika waktunya datang.
Sementara itu, juru bicara Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia, ketika diminta konfirmasi soal kapan Indonesia akan menyampaikan Second NDC-nya, mengatakan bahwa Kementerian masih menunggu persetujuan dan instruksi dari Kantor Presiden.
“Dokumen tersebut [Second NDC] masih menunggu persetujuan dan arahan dari Presiden. Kami belum bisa sampaikan untuk detailnya,” kata sumber tersebut kepada Bisnis.
Mengutip laman NDC Registry, Singapura dan Kepulauan Marshall menjadi dua negara yang terakhir melaporkan komitmen baru pada tenggat yang ditetapkan.
Dalam dokumen Second NDC, Singapura membidik pengurangan emisi sebesar 45-50 juta ton CO2 ekuivalen pada 2035. Negara yang berbatasan dengan Indonesia itu melaporkan bahwa gas bumi, salah satu energi fosil, berkontribusi sebesar 95% terhadap pembangkit listrik mereka.
Adapun untuk Kepulauan Marshall, negara di kawasan Pasifik itu membidik pengurangan absolut emisi sebesar 58% di bawah level 2010 pada 2035. Pemangkasan emisi ini mencakup seluruh sektor dan gas.