Bisnis.com, JAKARTA – Mahkamah Internasional atau International Court of Justice (ICJ) akan menggelar sidang perdana untuk membahas kewajiban hukum negara-negara di dunia dalam menangani perubahan iklim pekan depan.
Sidang tersebut juga akan membahas konsekuensi bagi negara yang berkontribusi pada pemanasan global. Para ahli memperkirakan langkah ICJ ini akan memiliki dampak hukum dan politik signifikan dalam litigasi perubahan iklim di seluruh dunia.
Menurut para ahli, opini ICJ tentang perubahan iklim kemungkinan besar akan dijadikan rujukan dalam kasus hukum terkait iklim, mulai dari Eropa hingga Amerika Latin.
“Kami berharap ICJ dapat membuka jalan baru untuk menembus hambatan yang kami hadapi saat membahas keadilan iklim,” ujar Menteri Perubahan Iklim Vanuatu Ralph Regenvanu dikutip Reuters.
Sidang ini dianggap sebagai momen bersejarah oleh Graham Leung, Jaksa Agung Fiji, khususnya bagi negara-negara kepulauan kecil yang terdampak parah oleh perubahan iklim. Vanuatu, salah satu negara yang mendorong pembahasan ini, menyatakan bahwa mereka menderita secara tidak proporsional akibat badai yang makin intens dan naiknya permukaan laut.
Sidang akan mendengarkan pandangan dari 98 negara dan 12 organisasi internasional, termasuk dua penghasil emisi gas rumah kaca terbesar dunia, Amerika Serikat dan China, serta Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (Organization of Petroleum Exporting Countries/OPEC).
Baca Juga
Pada 2023, Majelis Umum PBB telah meminta ICJ untuk memberikan opini formal mengenai kewajiban hukum negara untuk melindungi sistem iklim serta kemungkinan tanggung jawab negara besar atas kerusakan, terutama terhadap negara-negara kecil.
“Ketika COP29 gagal memberikan arahan yang jelas untuk keadilan iklim, perkembangan dari ICJ menjadi semakin penting,” kata Lea Main-Klingst, pengacara dari ClientEarth.
Kasus sengketa terkait iklim tercatat terus meningkat. Awal tahun ini, Pengadilan HAM Eropa memutuskan bahwa pemerintah Swiss telah melanggar hak warga negaranya karena gagal melakukan tindakan cukup untuk menangani perubahan iklim. Namun, pengadilan juga menolak dua kasus lainnya. Hal ini sekaligus menunjukkan kompleksitas litigasi iklim yang makin berkembang.