Bisnis.com, JAKARTA — Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai kerja sama Indonesia dan China harus diarahkan untuk mempercepat transisi energi, pengembangan ekonomi hijau dan penanganan tantangan iklim global di usia hubungan diplomatik yang ke-75.
Hal ini disampaikan saat High-Level Dialogue: Advancing Indonesia-China Cooperation on Clean Energy and Green Development di Beijing, China pada Selasa (10/6/2025).
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengatakan China sebagai pemimpin global dalam pengembangan energi terbarukan dapat membantu Indonesia dalam hal investasi infrastruktur dan pembangunan industri teknologi energi terbarukan, pengembangan kapasitas kelembagaan, dan mendukung dekarbonisasi industri pengolahan mineral dan hilirisasi.
Fabby juga mengemukakan bahwa Indonesia memiliki potensi teknis energi terbarukan yang sangat besar, mencapai lebih dari 7.700 gigawatt (GW) berdasarkan riset IESR. Potensi ini dua kali lebih besar dari data resmi pemerintah. Dari potensi ini, energi surya yang dapat menghasilkan listrik dengan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) merupakan sumber daya energi terbesar.
“Indonesia tengah menghadapi tantangan memenuhi kebutuhan energi yang terus meningkat, sekaligus memastikan pertumbuhan ekonomi tinggi dan berkelanjutan. Terlepas potensi yang melimpah, ada pandangan yang menyangsikan kemampuan energi terbarukan seperti energi surya dan angin untuk menjadi tulang punggung sistem energi nasional karena sifatnya yang intermiten,” kata Fabby, dikutip dari siaran pers.
Fabby mencatat negara-negara lain seperti China, India dan Australia telah membuktikan intermitensi surya dapat diatasi. Selain itu teknologi penyimpanan energi telah makin maju seperti baterai lithium-ion, sodium-ion, hingga teknologi solid-state yang kini lebih terjangkau.
Baca Juga
“Teknologi penyimpanan daya hidro terpompa (pumped hydro storage) dan penyimpanan hidrogen (hydrogen storage) juga hadir sebagai solusi pelengkap,” sambungnya.
Fabby menilai peluang kemitraan strategis Indonesia dan China dalam pengembangan energi terbarukan dapat mencakup pembangunan ekosistem teknologi energi surya. IESR mengusulkan inisiatif bernama China-Indonesia Solar Partnership.
Inisiatif ini terdiri dari produksi teknologi sel dan modul surya generasi terbaru, elektrifikasi kepulauan Indonesia dengan PLTS dan sistem penyimpanan energi (Battery Energy Storage System/BESS) untuk substitusi pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD), serta riset gabungan untuk pemanfaatan teknologi PLTS yang sesuai dengan iklim tropis.
Selain itu, inisiatif ini juga mendorong pembiayaan hijau untuk manufaktur dan rantai pasok PLTS serta pembangkit tenaga surya, kerja sama penurunan emisi karbon dan perdagangan karbon internasional dari hasil penurunan emisi dari proyek PLTS skala besar.
Wakil Kepala Perwakilan RI di Beijing, Parulian Silalahi mengatakan transisi energi ini bukan hanya untuk mengurangi emisi, tetapi juga menciptakan banyak lapangan kerja baru dan peluang investasi. Dia mengatakan beberapa investor asing sudah mulai berinvestasi di bidang ini. Terlihat dari aksi Trina Solar dari China dan SEG Solar dari Amerika Serikat yang sudah membangun pabrik panel surya di Jawa Tengah.
“China dengan kemampuan teknologi dan produksinya di bidang energi terbarukan, memiliki peluang besar. Bukan hanya sebagai pemasok suku cadang, tetapi juga untuk membangun rantai pasok terintegrasi di Indonesia. Hal ini akan mempercepat transisi energi, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di kawasan Asia Tenggara,” ujar Parulian.
Direktur Eksekutif BRI Green Development Institute, Zhang Jianyu menuturkan krisis iklim merupakan ancaman global, tetapi negara berkembang menanggung beban terberat. Dalam hal ini, Indonesia dan China dapat bersatu dalam kerja sama energi terbarukan untuk mitigasi krisis iklim, terbuka terhadap kolaborasi global tanpa pengecualian. Perusahaan-perusahaan China seperti JA Solar, Trina Solar dan Jinko Solar memainkan peran penting dalam menyuplai panel surya dan keahlian teknis.