Bisnis.com, JAKARTA — Sektor properti didorong untuk ikut serta berkontribusi dalam menurunkan emisi karbon.
Staf Ahli Bidang Konektivitas dan Pengembangan Jasa Kemenenterian Koordinator Perekonomian Dida Gardera mengatakan prinsip-prinsip berkelanjutan atau green penting untuk sektor properti.
"Sangat penting karena sektor properti berkontribusi terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) dan melibatkan banyak pihak sebagai rantai pasok (supply chain) untuk membangun perumahan," ujarnya dikutip Rabu (28/5/2025).
Menurutnya, jika sektor properti sudah melakukan prinsip-prinsip keberlanjutan, maka komitmen Indonesia dalam pengurangan emisi akan semakin bisa terakselerasi.
"Saya pikir sektor properti ini sangat penting dan memang dengan adanya keberlanjutan berarti suasana kehidupan di perumahan itu akan lebih nyaman, lebih sehat dan sebagainya," katanya.
Dia menilai dengan adanya konsep green di sektor properti berarti menjamin bagi penghuninya dan juga masyarakat sekitar bahwa perumahan tersebut sudah berwawasan lingkungan yang arrtinya lebih sehat dan nyaman.
Baca Juga
"Dari sisi penggunaan energi, air, dan sebagainya juga lebih efisien, akhirnya akan mendorong perekonomian yang lebih berkualitas. Jadi ini bukan suatu pilihan, seharusnya sudah merupakan keharusan," ucapnya.
Direktur Pengembangan Promosi Kementerian Investasi/BKPM Rakhmat Yulianto berpendapat tren investasi properti di Indonesia saat ini tengah mengarah ke pembangunan ramah lingkungan dan berkelanjutan. Hal ini akan menjadi tantangan bagi industri properti menyusul komitmen untuk mengurangi jejak karbon secara nasional dan global.
Namun demikian, juga menjadi peluang dalam menciptakan properti yang ramah lingkungan dan mengembangkan properti yang sudah ada menjadi lebih berkelanjutan.
"Saat ini sejumlah masyarakat Indonesia sebagai konsumen juga sudah memiliki kesadaran (awareness) untuk memiliki hunian yang lebih hijau," tuturnya.
Wakil Ketua Umum Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Carmelita Hartoto menuturkan saat ini manusia hidup di era berklanjutan dimana bukan merupakan sebuah pilihan tetapi keharusan. Menurutnya, sektor properti punya peran strategis untuk ekonomi rendah karbon.
"Net zero dalam pembangunan dan operasional pembangunan. Inisiatif ini mengingatkan kita keberlanjutan dan profitabilitas bukan 2 kutub bertentangan. Dengan dukungan pembiayaan hijau, kolaborasi lintas sektor pembangunan hijau sebagai mesin pertumbuhan ekonomi nasional. Bisa lebih peduli lingkungan yang lebih bak, bangun kota tangguh ramah lingkungan demi masa depan lebih baik," ujarnya.
Kepala Badan Pengembangan Kawasan Properti Terpadu (BPKPT) Kadin Indonesia Budiarsa Sastrawinata mengatakan pengembang properti tidak dapat menutup mata terhadap fakta bahwa Asia tenggara berada di garis depan risiko perubahan iklim.
"Transisi Net Zero Emission (NZE) bukan wacana tetapi juga bagian dari strategi nasional. Diperlukan langkah nyata dalam pembangunan rendah karbon dan tahan iklim," ucapnya.
Menurutnya, komitmen membangun bangunan properti hijau dan berkelanjutan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Biaya itu digunakan untuk memenuhi komitmen dan menjalankan nilai-nilai agar bisa mendapatkan sertifikat bisnis hijau. Pembiayaan hijau ini memungkinkan terciptanya inovasi dalam pembangunan hjau, efisiensi operasinal, dan bahkan mendorong profitabilitas serta nilai properti jangka panjang. Pendanaan menjadi tantangan besar dan sekaligus peluang transformasional untuk membangun kota dan bangunan masa depan yang cerdas, rendah karbon, dan tahan iklim.
"Salah satu jembatan utama dalam transisi ini adalah pembiayaan hijau atau sustainable finance. ustainable finance tidak lagi sekadar tren, tetapi menjadi kebutuhan sistemik. Ia memungkinkan terciptanya inovasi dalam pembangunan hijau, efisiensi operasional, dan bahkan mendorong profitabilitas serta nilai properti jangka panjang. Pendanaan adalah tantangan besar, tetapi sekaligus peluang transformasional untuk membangun kota dan bangunan masa depan yang cerdas, rendah karbon, dan tahan iklim," kata Budiarsa.
Untuk mempermudah mendapatkan pendanaan hijau, pengembang properti didorong mengadaptasi standar sertifikasi hijau melalui badan dan institusi terpecaya. Sertifikasi tersebut dapat mempermudah mengakses pembiayaan hijau seperti obligasi hijau dan pinjaman berkelanjutan.
Pihaknya tak menampik adanya tantangan tersebar selain ketersediaan dana yakni kesiapan proyek dalam memenuhi kriteria taksonomi hijau dengan baseline data memadanai. Ekosistem regulasi, kerangka hukum dan efisiensi energi harus diperkuat agar proyek hijau dapat terakselerasi.
“Pengembang properti secara aktif sejak tahap pelaksanaan dengan desain memuat adaptasi kondisi iklim dan orientasi matahari, bahan baku rendah karbon, dan pemanfaatan teknologi hemat energi dan air. Selain itu, perlu adanya pemetaan emisi dan risiko lingkungan dengan monitoring dan pengukuan pemakaian air dan energi serta pembuangan limbah di tingkat nasional," tuturnya.
Budiarsa mencontohkan BSD Green Office Park dan DBS Tower Ciputra World 1 telah membuktikan keberlanjutan dengan menarik minat tenan global. hal ini membuktikan praktik ESG bukan beban tetapi keunggulan kompetitif.
"Kami mendorong pembiayaan pembangunan hijau khususnya daerah belum tersentuh. Pendekatan ini diperkuat dengan pbb hijau dan suku bunga hijau serta skema blended finance, inklusif terhadap umkm dan pengebang lokal. Kita ubah cara pandang, keberlanjutan ini profit center dan keuntungan mendatang," terangnya.
Selain itu, pihaknya juga membuka peluang mengajak Bank Pembanguanan Daerah (BPD) untuk memfasilitasi Kredit Pemilikan Rumah (KPR) hijau. Hal ini dilakukan demi merespons dampak perubahan iklim terhadap pembangunan properti sekaligus mencapai NZE. Selain itu, tidak hanya diberikan KPR yang memudahkan konsumen, melainkan keuntungan bagi pengembang berupa pinjaman hijau dari perbankan. Hal ini agar memberikan produk yang lebih cepat menuju NZE ini.
"Kami tentu akan berbicara dengan semua pihak. Dari segi financing-nya, dari KPR-nya," ujar Budiarsa.
Chairperson Green Building Council Indonesia (GBCI) Ignesjz Kemalawarta menuturkan berdasarkan data Green Building Council Indonesia, jumlah properti hijau di Indonesia pada 2022 terdapat sebanyak 63 bangunan. Angka ini bertambah menjadi 100 proyek properti bangunan gedung memperoleh sertifikasi greenship dari GBCI, sedangkan gedung yang memperoleh sertifikasi Excellence in Design for Greater Efficiencies (EDGE) dari International Finance Corporation (IFC) sekitar 150 bangunan. Adapun ditargetkan dalam 3 tahun mendatang akan ada 500an proyek properti yang tersertifikasi hijau baik melalui GBCI maupun IFC.
GBCI memiliki wewenang untuk mengeluarkan sertifikat properti hijau dimana untuk mendapatkan sertifikat terdapat 6 penilaian yaitu pengembangan lokasi yang tepat, penggunaan energi, tata kelola air, penggunaan material, kualitas udara di dalam dan di luar ruangan, dan tata kelola bangunan.
"Para pengembang harus bisa memenuhi nilai-nilai itu jika ingin mendapatkan sertifikat perumahan atau bangunan hijau. Ini berdampak pada pembiayaan," katanya.
Menurutnya, penerapan sertifikasi hijau pada properti sangat penting karena 40% dari total konsumsi energi global berasal dari sektor bangunan. Oleh karena itu, konsep green building sangat penting untuk mengurangi dampak lingkungan.
"Kita juga harus memahami bahwa perubahan iklim terjadi karena panas yang masuk ke bumi tidak dapat keluar kembali, akibat terlalu banyak emisi karbon di atmosfer. Misalnya, di Dubai, suhu pernah mencapai 61°C, yang menunjukkan betapa ekstremnya perubahan iklim saat ini," ucapnya.
Properti hijau banyak diterapkan pada gedung pemerintahan baik kementerian maupun badan usaha milik negara (BUMN). Selain itu, penerapan properti hijau juga banyak diadopsi pada lembaga pendidikan. Sebaliknya, penerapan properti hijau pada gedung maupun bangunan hunian pengembang swasta masih minim.
Hingga saat in, baru ada lima grup pengembang besar yang gencar menerapkan prinsip ramah lingkungan dan berkelanjutan pada proyek-proyek properti. Kelima pengembang besar tersebut yakni PT Intiland Development Tbk, Sinar Mas Land, Kota Baru Parahyangan, Alam Sutera, dan PT Ciputra Development Tbk (CTRA).
"Gedung pemerintahan ini semangat, tapi developer enggak banyak, saya mau ngepush dulu developernya untuk saving energy generasi mendatang. Jumlah properti hijau di Indonesia masih sedikit dibandingkan negara tetangga seperti Singapura yang sudah 1.000 bangunan," tuturnya.
Menurutnya, masih sedikitnya properti hijau di Indonesia karena biaya konstruksi yang dikeluarkan lebih tinggi sebesar 3% hingga 4%. Kendati demikian tingginya biaya awal tersebut terkompensasi atau sudah kembali dalam 5 tahun awal pengoperasian yang terkonversi dari penghematan energi dan air.
"Selama usia bangunan 40 tahun, bangunan properti hijau menikmati biaya operasional lebih rendah 15% hingga 40%," terangnya.
Menurut Ignesjz, untuk mendorong jumlah bangunan yang tersertifikasi hijau, pemerintah harus memberikan insentif. Pasalnya, tanpa insentif akan sulit memperbanyak bangunan hijau.
"Malaysia, Singapura, Filipina, pemerintah memberikan insentif untuk memperbanyak bangunan bersertifikat hijau. Hanya Indonesia saja yang tidak ada insentif bangunan hijau. Singapura ada insentif pemberian uang, KLB (koefisien luas bangunan), dan lainnya," ujarnya.
Dia menilai dengan adanya insentif, maka akan meningkatkan kesadaran akan bangunan bersertifikat hijau. Adapun insentif yang diharapkan dari pemerintah Indonesia bisa berupa uang, KLB, pajak, dan lain sebagainya.
"Misalnya kalau berupa uang bisa mengkompensasi kenaikan biaya konstruksi bangunan hijau. Lalu insentif pajak, pajak bumi dan bangunan (PBB) bisa diberikan diskon 30% selama 3 tahun untuk bangunan bersertifikat hijau ini lumayan. Kami terus mendorong agar insentif ini keluar," katanya.
Pengembangan properti hijau juga dipengaruhi oleh pembiayaan dari bank-bank di Indonesia. Sayangnya, belum semua bank betul-betul fokus pada pembiayaan pengembangan properti hijau di Indonesia atau pembiayaan hijau. Dia menilai kiprah perbankan dalam pendanaan hijau hingga kini masih rendah karena menunggu aturan teknis. Meskipun kalangan perbankan sudah mulai menyalurkan pendanaan hijau, namun insentif suku bunga KPR hijau belum signifikan.
Dia mencontohkan Bank BRI memberikan KPR hijau dengan selisih suku bunga KPR 0,2% dari KPR non hijau Pihaknya mendorong bunga KPR hijau lebih rendah 1% dibandingkan dengan KPR konvensional. Hal ini sebagai upaya meningkatkan properti hijau di Tanah Air.
"Ada dua kategori pada pembiayaan hijau, yakni kategori hijau dan transisi. Nah, yang di kategori ini akan diberikan karpet merah pada bank-bank dengan memberikan pembeli (properti hijau) dengan bunga yang murah. Ini harus segera jadi peraturan pemerintah supaya bisa dilaksanakan. Green building bukan sekadar tren melainkan sebuah kebutuhan untuk masa depan yang lebih baik. Kita perlu mengubah pola pikir masyarakat agar lebih peduli terhadap keberlanjutan lingkungan. Ini untuk keberlangsungan lingkungan generasi mendatang," ucap Ignesjz.
Senior Vice President PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) Madya Januar menuturkan sertifikasi hijau untuk perumahan tidak mudah dan perlu biaya sehingga tidak semua pengusaha atau pengembang itu mampu melaksanakannya. Pihaknya akan membuat klasifikasi pengembang yang baru memiliki konsep hijau dan pengembang yang sudah menjalankannya.
"Yang belum tersertifikasi itu tentu akan kami berikan insentif, tetapi ratenya berbeda dengan yang sudah tersertifikasi karena ada upaya lebih yang dilakukan. Properti hijau yang tersertifikasi mendapatkan insentif dari bank. Insentif ini bisa berupa relaksasi loan to value (LTV), suku bunga KPR yang lebih rendah, atau bahkan pinjaman khusus untuk pembiayaan properti hijau," tuturnya.
Adapun hingga kini, BRI telah menyalurkan KPR hijau Rp395 miliar dari target mencapai Rp700 miliar sampai Rp900 miliar di tahun ini. Pihaknya berkomitmen konsisten menyalurkan pembiayaan ke sektor strategis yang mendukung transisi menuju ekonomi hijau termasuk kepada sektor properti.
"Sejauh ini antusiasme masyarakat dan pengusaha cukup baik terhadap bisnis hijau, termasuk juga ketika bicara soal properti hijau. Apalagi, bunga hunian hijau lebih murah dari rumah komersial lain," ujarnya.