Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Hari Bumi dan Warisan Hijau Paus Fransiskus Dalam Laudato Si

Laudato Si merupakan kontribusi utama bagi mobilisasi global yang menghasilkan Perjanjian Paris yang penting tentang perubahan iklim.
Paus Fransiskus melambaikan tangan saat memimpin audiensi mingguan di Lapangan Santo Petrus di Vatikan, Rabu (6/3/2024).  Bloomberg/Alessia Pierdomenico.
Paus Fransiskus melambaikan tangan saat memimpin audiensi mingguan di Lapangan Santo Petrus di Vatikan, Rabu (6/3/2024). Bloomberg/Alessia Pierdomenico.

Bisnis.com, JAKARTA — Setiap tahun tanggal 22 April diperingati sebagai Hari Bumi Sedunia. Di tahun ini, perayaan Hari Bumi diiringi suasana duka karena berselang satu hari dari berpulangnya Paus Fransiskus yakni pada 21 April 2025. 

Namun, momen Hari Bumi bisa menjadi pemicu untuk mengingat lagi pesan-pesan mendiang Paus Fransiskus soal menjaga Bumi. Peringatan ini bukan sekadar seremonial tetapi menjadi pengingat bahwa Bumi sekadar tempat tinggal, melainkan warisan yang harus dijaga untuk generasi mendatang.

Ketika Jorge Mario Bergoglio dari Argentina terpilih menjadi Paus pada 2013, visinya untuk keadilan dan kesetaraan manusia begitu terkait erat dengan alam sehingga dia memilih nama kepausan Fransiskus, yang menghormati santo pelindung ekologi.

Keyakinan dan betapa bersemangatnya di memperjuangkannya, memengaruhi arah kebijakan iklim dan energi global, khususnya Perjanjian Paris 2015. Surat kepausan atau ensiklik Fransiskus tahun 2015, Laudato Si (Semoga Engkau Selalu Terpuji) adalah yang pertama kali ditujukan untuk pemanasan global.

Amanat resmi Paus tersebut menyerukan manusia di seluruh dunia untuk melakukan pertobatan ekologis dalam hubungannya dengan alam sebagai ciptaan Tuhan. Sri Paus mengajak seluruh umat manusia manusia mengatasi krisis lingkungan dan sosial yang saling terkait.

Surat itu menggabungkan ilmu iklim, kesenjangan kekayaan, konsumsi yang dia sesalkan sebagai budaya membuang dan teknologi dalam surat sepanjang 40.000 kata yang dibagikan kepada lebih dari 1 miliar umat Katolik di dunia.

“Bumi, rumah kita, mulai tampak semakin seperti tumpukan besar kotoran,” tulis Paus. 

Dilansir dari Vatican News, Mantan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon memuji dokumen Laudato Si tersebut karena suara moralnya, sementara novelis India Pankaj Mishra menyebutnya bisa dibilang sebagai kritik intelektual terpenting di zaman kita.

Laudato si juga berdampak pada kebijakan. Ensiklik tersebut sering dianggap membantu membangun konsensus menjelang Konferensi Perubahan Iklim PBB 2015 di Paris, di mana 196 negara menandatangani perjanjian yang berjanji untuk menjaga pemanasan global di bawah 2 derajat Celcius. 

Laudato si menggabungkan, di satu sisi, refleksi teologis yang mencolok dan terkadang puitis tentang pentingnya kepedulian terhadap alam dengan, di sisi lain, seruan untuk tindakan politik yang radikal.

Paus menulis alam semesta terbentang dalam Tuhan, yang mengisinya sepenuhnya. Oleh karena itu, ada makna mistis yang dapat ditemukan dalam sehelai daun, di jalan setapak gunung, di setetes embun, di wajah orang miskin. Berdiri terpesona di hadapan gunung, kita tidak dapat memisahkan pengalaman ini dari Tuhan. 

Meditasi ini membuat Paus mengutuk politik yang mementingkan hasil langsung, yang didukung oleh sektor konsumen dari populasi dan didorong untuk menghasilkan pertumbuhan jangka pendek.

Menurut Paus, yang dibutuhkan cara berpikir baru tentang manusia, kehidupan, masyarakat, dan hubungan dengan alam. Inti dari Laudato si adalah gagasan tentang ekologi integrai dimana krisis iklim secara intrinsik terkait dengan masalah sosial, politik, dan ekonomi saat ini dan tidak dapat diatasi secara terpisah dari masalah-masalah tersebut.

"Kita tidak dihadapkan pada dua krisis yang terpisah, satu krisis lingkungan dan yang lainnya krisis sosial melainkan pada satu krisis kompleks yang bersifat sosial dan lingkungan," tulis Paus. 

Oleh karena itu, perlu pendekatan terpadu untuk memerangi kemiskinan, pendekatan yang melindungi alam sekaligus mengembalikan martabat bagi mereka yang terpinggirkan. 

Hal ini mendorong Paus Fransiskus untuk memperjuangkan pembangunan manusia yang integra atau pembangunan yang tidak mengutamakan pertumbuhan ekonomi dan kemajuan teknologi di atas segalanya.

"Meskipun pertumbuhan itu penting, kita harus memastikan bahwa pertumbuhan itu didorong bersamaan dengan hal-hal lain yang bernilai, termasuk alam, budaya manusia, kaum miskin dan rentan, serta kehidupan hewan," tulis Paus. 

Dilansir Bloomberg, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan Laudato Si merupakan kontribusi utama bagi mobilisasi global yang menghasilkan Perjanjian Paris yang penting tentang perubahan iklim.

Simon Stiell, Sekretaris Eksekutif Kelompok PBB yang mengawasi diplomasi iklim, menggambarkan mendiang Paus sebagai sosok yang sangat bermartabat, dan pejuang global yang teguh dalam aksi iklim sebagai sarana penting untuk mewujudkannya.

Dirilis secara publik pada bulan Juni 2015, Laudato Si membawa Paus Fransiskus ke dalam apa yang saat itu merupakan perdebatan iklim paling mendesak di dunia. Dengan hampir 200 negara yang akan hadir di Paris pada musim gugur itu untuk merundingkan pakta penting mengenai polusi gas rumah kaca, Paus pertama dari belahan bumi selatan ini memanfaatkan jangkauannya untuk mendorong kesepakatan yang agresif.

Paus Fransiskus terus berbicara dan menulis tentang topik tersebut, memberi tahu para eksekutif minyak dan gas pada 2018 bahwa transisi ke energi bersih adalah tugas bagi kemanusiaan dan mengecam penolakan perubahan iklim dalam dokumen lain yakni Laudate Deum.

Laurence Tubiana, Seorang Ekonom dan Diplomat Prancis yang menjadi presiden perundingan tahun 2015, menceritakan dalam sebuah esai tahun 2021 tentang seberapa terlibatnya Fransiskus dengan para kepala negara dan delegasi. Para diplomat menghubunginya secara langsung untuk membantu mencoba dan membawa Nikaragua, salah satu dari sedikit negara yang tidak ikut serta, ke dalam pakta tersebut.

Hampir semua negara menyetujui kesepakatan tersebut pada bulan Desember dan kesepakatan tersebut menjadi kerangka kerja global bagi pemerintah, kota, perusahaan, investor, dan masyarakat untuk mengembangkan dan menerapkan kebijakan iklim. Namun sayangnya, Amerika Serikat meninggalkan Perjanjian Paris awal tahun ini. 

CEO The Common Initiative Oscar Soria menuturkan bertemu Paus Fransiskus sebagai jurnalis di Buenos Aires pada pertengahan 1990-an dan terus berhubungan dengannya selama bertahun-tahun. Menurutnya, pakta tersebut tidak akan ada dalam bentuk akhirnya tanpa Fransiskus.

Pembukaannya membahas keadilan iklim, kesetaraan antargenerasi, dan hak-hak masyarakat adat semuanya merupakan inti dari platform Fransiskus. Soria mengaitkan bahwa hal-hal tersebut dimasukkan meskipun tidak ada dalam draf awal karena pengaruh Fransiskus yang menciptakan urgensi moral di antara para diplomat.

"Elemen-elemen tersebut menjadikan Perjanjian Paris sebagai keharusan moral dan etika. Perjanjian Paris memiliki jiwa karena dialah yang menaruh jiwa itu di sana," katanya. 

Meskipun memberi semangat kepada para pendukung perubahan iklim di dalam dan luar Gereja Katolik, namun kritik Fransiskus terhadap kapitalisme, bisnis, dan teknologi membuat konstituen konservatif menolak implikasi politik dari karyanya.

Sebuah studi yang menganalisis lebih dari 12.000 kolom yang ditulis oleh para uskup Katolik di AS menemukan banyak yang bungkam tentang perubahan iklim atau menjauhkan diri dari masalah itu sendiri atau Laudato Si. Hanya sepertiga umat Katolik AS yang mengenal ensiklik tersebut, menurut survei Universitas Georgetown pada Maret 2024.

Namun, 32 keuskupan AS telah mengambil platform aksi Laudato Si’, sebuah komitmen tujuh tahun untuk menjadi lebih berkelanjutan. Konferensi Uskup Katolik AS mengadakan sesi tentang surat tersebut pada bulan November, untuk pertama kalinya sejak diterbitkan, untuk mengumpulkan ide-ide guna menandai ulang tahunnya yang ke-10 tahun ini.

Laudato Si Movement, sebuah lembaga nirlaba yang berbasis di AS dan beroperasi di sekitar 140 negara, diluncurkan sebagai Gerakan Iklim Katolik Global tak lama sebelum ensiklik tersebut diterbitkan dan berganti nama pada 2021.

Dalam satu dekade sejak didirikan, organisasi tersebut telah melatih sekitar 20.000 orang dalam proses sertifikasi selama berbulan-bulan untuk menjadi pemimpin lokal.

Direktur Strategi Gerakan Laudato Si Reba Elliott menuturkan beberapa kritikus menganggap perubahan iklim sebagai sesuatu yang memecah belah masyarakat.

"Pada saat yang sama, ada banyak sekali umat Katolik di AS dan sekitarnya yang melihat bahwa perubahan iklim adalah masalah yang terkait dengan ajaran inti agama," ucapnya. 

Saat dirawat di rumah sakit karena pneumonia pada bulan Maret, Fransiskus menulis pesan kepada konferensi nasional para uskup di Brasil, yang akan menjadi tuan rumah perundingan iklim PBB ke-30 musim gugur ini. 

Dia memuji upaya kelompok tersebut untuk meluncurkan kampanye sebelum pertemuan puncak COP30 dimulai sehingga negara-negara dan organisasi internasional dapat secara efektif berkomitmen pada praktik-praktik yang membantu mengatasi krisis iklim.

Mereka yang bersemangat dengan upaya Fransiskus dalam mengatasi perubahan iklim berharap komitmennya akan bertahan lama, siapa pun yang menggantikannya.

"10 tahun adalah sekejap mata dalam waktu gereja. Namun, banyak yang telah dicapai sejauh ini, dan itu benar-benar menunjukkan bahwa Paus Fransiskus menyampaikan pesan yang ingin didengar banyak orang dan telah ditanggapi banyak orang," tutur Elliott.

Selama beberapa tahun terakhir, isu lingkungan perlahan-lahan surut dari agenda global. Banyak negara kini mencabut kembali langkah-langkah iklim untuk fokus pada pertumbuhan ekonomi atau persenjataan kembali.

Keputusan semacam itu merupakan respons terhadap perubahan penting dalam lingkungan geopolitik. Akan tetapi, para pemimpin sebaiknya mengingat peringatan Paus bahwa perdamaian, keadilan, dan pelestarian ciptaan adalah tiga tema yang benar-benar saling terkait, yang tidak dapat dipisahkan dan ditangani secara terpisah. 

Krisis iklim, jika tidak ditangani, maka akan menyebabkan kelangkaan sumber daya, migrasi, dan ketimpangan yang lebih besar karena semua faktor yang meningkatkan ketidakstabilan dan konflik. Seperti yang dikatakan Paus, dalam frasa sederhana yang merangkum seluruh semangat Laudato si, semuanya saling terkait.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Yanita Petriella
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper