Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pembiayaan Hilirisasi Energi Fosil oleh Danantara dihantui Risiko Stranded Asset?

Pemerintah memutuskan bahwa tahap pertama hilirisasi yang menyasar 21 proyek dengan estimasi investasi mencapai US$45 miliar.
Pekerja PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) beraktivitas di kawasan Pertamina Refinery Unit (RU) IV Cilacap. Bisnis/Nurul Hidayat
Pekerja PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) beraktivitas di kawasan Pertamina Refinery Unit (RU) IV Cilacap. Bisnis/Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA - Keputusan pemerintah menetapkan proyek hilirisasi dan ketahanan energi dari energi fosil untuk didanai oleh Danantara dikhawatirkan meningkatkan risiko stranded asset.

Berdasarkan rapat terbatas yang digelar bersama Presiden Prabowo Subianto dan anggota Satuan Tugas (Satgas) Hilirisasi dan Kedaulatan Energi, 3 Maret, telah diputuskan bahwa tahap pertama hilirisasi yang menyasar 21 proyek dengan estimasi investasi mencapai US$45 miliar.

Pada tahap pertama, pemerintah belum memberikan karpet merah untuk proyek energi terbarukan. Sebaliknya, proyek yang didahulukan mencakup penyimpanan minyak, kilang minyak, gasifikasi batu bara, dan hilirisasi tembaga, nikel, hingga bauksit.

Sartika Nur Shalati, Policy Strategist Cerah, mengatakan dominasi proyek energi fosil tersebut justru akan menjadi bumerang bagi Indonesia.

Mengacu hitungan Institute of Energy Economic and Financial Analysist (IEEFA), proyek gasifikasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME) yang sempat direncanakan PT Bukit Asam (Persero), diperkirakan justru akan merugi hingga US$ 377 juta/tahun.

“Kerugian ini disebabkan karena biaya operasional yang sangat tinggi, bahkan dua kali lipat lebih mahal dibanding impor LPG,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa (18/3/2025).

Seusai bertemu Presiden Prabowo, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengakui, proyek awal yang akan digeber adalah adalah pembangunan storage crude minyak untuk ketahanan energi nasional.

Berdasarkan Perpres, Indonesia perlu menambah cadangan minyak hingga 30 hari dan salah satu opsi penyimpanan akan dibangun di Pulau Nipa.

Selain itu, dia melanjutkan bahwa pemerintah juga akan membangun refinery dengan kapasitas sekitar 500.000 barel yang akan menjadi salah satu yang terbesar di Indonesia. Ini bertujuan untuk memperkuat ketahanan energi nasional.

Tak hanya itu, pemerintah juga akan membangun proyek Dimethyl Ether (DME) berbahan baku batu bara berkalori rendah sebagai substitusi LPG impor. Selain sektor energi, proyek hilirisasi juga mencakup peningkatan nilai tambah komoditas seperti tembaga, nikel, dan bauksit hingga menjadi alumina.

Menurut Sartika, pembiayaan terhadap energi fosil juga meningkatkan risiko stranded asset, di mana aset-aset seperti tambang batu bara, kilang minyak, dan infrastruktur pembangkit listrik fosil dapat kehilangan nilai ekonomisnya lebih cepat dari yang diperkirakan.

Transisi global menuju energi terbarukan membuat permintaan terhadap bahan bakar fosil semakin menurun dan kehilangan pasar, yang pada akhirnya dapat membuat investasinya tidak lagi menguntungkan.

Selain itu, semakin banyak negara yang memperketat masuknya barang-barang hasil proses produksi yang didukung energi fosil. Salah satunya, Uni Eropa yang berencana memungut bea masuk atas barang impor padat karbon (Carbon Border Adjustment Mechanism/CBAM).

“Namun, hal ini masih akan sulit dilakukan melihat kecenderungan investasi yang ditargetkan masih memprioritaskan  sektor pertambangan dan  energi fosil (migas dan batu bara), ditambah lagi kuatnya konflik kepentingan dibaliknya,” tambahnya.

Di sisi lain, Danantara dapat dimaksimalkan untuk mendorong transisi energi. Utamanya, Danantara dapat membiayai pengembangan energi terbarukan dan pensiun dini PLTU, untuk melepas ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil.

Wicaksono Gitawan, Policy Strategist CERAH, menyayangkan keputusan pemerintah yang memprioritaskan proyek-proyek energi fosil untuk pendanaan gelombang pertama Danantara.

Potensi kerugian Danantara di proyek energi fosil ini juga akan jadi momok bagi perekonomian Indonesia. Dengan dana Danantara berasal dari efisiensi anggaran negara dan aset-aset BUMN, lanjut Sartika, tekanan finansial atau kegagalan Danantara mengelola aset secara optimal akan berimbas langsung pada stabilitas ekonomi nasional.

“Dengan US$900 miliar dikelola dalam berbagai proyek, Danantara berisiko hanya bergantung pada pengembalian investasi jangka panjang, yang bisa mempengaruhi likuiditas negara, apalagi dalam keadaan darurat,” ujarnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper