Bisnis.com, JAKARTA — Sektor properti diperkirakan menyumbang sekitar 40% dari emisi karbon global. Hal ini membuat industri properti dinilai perlu menerapkan perencanaan strategis dalam upaya mengurangi emisi karbon.
Terlebih, Indonesia telah berkomitmen untuk mencapai target emisi nol bersih pada 2060 atau bahkan lebih cepat. Upaya itu perlu ditindaklanjuti pemangku kepentingan dalam menekan emisi karbon.
Head of Project Management Colliers Indonesia Rahmat Daresa Alam mengatakan seiring dengan kemajuan Indonesia menuju pembangunan perkotaan berkelanjutan, pengintegrasian prinsip-prinsip berkelanjutan dalam real estat menjadi semakin penting.
Hal ini tidak hanya mencakup struktur bangunan ramah lingkungan tetapi juga ruang interior yang hemat energi dan sadar kesehatan. Penerapan bangunan keberlanjutan perlu didorong oleh kebijakan peraturan, komitmen perusahaan, dan meningkatnya kesadaran akan dampak lingkungan.
Menurutnya, integrasi praktik keberlanjutan bukan lagi sebuah pilihan melainkan sebuah kebutuhan yang didorong oleh peraturan pemerintah dan meningkatnya permintaan pasar akan real estate yang bertanggung jawab terhadap lingkungan.
“Kerangka peraturan seputar konstruksi berkelanjutan di Indonesia sangat kuat dan pengembang serta penghuni harus menavigasi kebijakan ini sejak tahap perencanaan paling awal untuk memastikan kepatuhan dan mengoptimalkan dampak proyek terhadap lingkungan,” ujarnya dalam laporan Market Insights, Selasa (4/3/2025).
Baca Juga
Menurutnya, untuk mengatasi tantangan urbanisasi yang pesat dan permasalahan lingkungan hidup, pemerintah Indonesia telah menerapkan berbagai kebijakan dan pedoman untuk mendorong praktik real estat berkelanjutan. Langkah tersebut untuk meminimalkan dampak lingkungan dari pembangunan perkotaan, dengan penekanan pada efisiensi energi, konservasi air, dan pengurangan limbah.
“Untuk mematuhi peraturan ini dan mencapai keberlanjutan dalam proyek mereka, pengembang harus memastikan kepatuhan sejak awal siklus hidup proyek, dimulai dengan pemilihan lokasi dan berlanjut hingga desain, konstruksi, dan pengoperasian,” katanya.
Selain persyaratan peraturan, terdapat peningkatan permintaan pasar terhadap solusi real estat berkelanjutan. Adapun merujuk laporan Deloitte dimana gen Z dan generasi milenial memiliki kesadaran lingkungan. berkomitmen mengurangi dampak lingkungan dan memprioriaskan keberlanjutan dalam hidup sehari-hari. Gen Z dan milenial bersedia membayar lebih mahal untuk produk properti yang mengusung keberlanjutan.
Dia mencontohkan, di Indonesia, milenial dan Gen Z secara aktif mencari properti yang mengutamakan praktik ramah lingkungan. Pasar bergerak menuju pengembangan yang menggabungkan sistem hemat energi, bahan terbarukan, dan ruang hijau.
Rahmat menilai adanya pergeseran pencarian hunian berkelanjutan ini karena kesadaran keuntungan finansial yang diperoleh dari real estat berkelanjutan.
“Properti dengan fitur ramah lingkungan cenderung terjual lebih cepat dan dengan harga lebih tinggi, hal ini menunjukkan semakin pentingnya keberlanjutan bagi pembeli. Fitur properti keberlanjutan adanya efisiensi energi, konservasi dan pengelolaan air, bahan konstruksi, pengelolaan air hujan, kualitas lingkungan dalam ruangan, keterlibatan dan pendidikan komunitas, serta ertifikasi keberlanjutan,” ucapnya.
Dia menuturkan fokus dari lanskap real estat berkelanjutan di Jabodetabek yakni tiga sistem sertifikasi bangunan ramah lingkungan yang utama. Sertifikasi tersebut menilai dan memverifikasi kinerja lingkungan dimana menunjukkan komitmen terhadap praktik ramah lingkungan di sektor bangunan.
Adapun secara keseluruhan, properti residensial dan ritel komersial yang bersertifikasi ramah lingkungan relatif jarang. Hal tersebut berbeda dengan gedung perkantoran menjadi kategori yang paling banyak mendapatkan sertifikasi terutama pada tingkat emas. Pasalnya, banyak penyewa dari perusahaan multinasional mencari gedung perkantoran bersertifikat hijau.
Dia menilai terbatasnya distribusi sertifikasi ramah lingkungan pada residensial menunjukkan peluang bagi pengembang dan penghuni bangunan untuk mengadopsi praktik desain berkelanjutan seiring dengan meningkatnya permintaan akan perusahaan ramah lingkungan.
“Memiliki sertifikasi ramah lingkungan bisa menjadi langkah strategis untuk menyelaraskan dengan tren keberlanjutan, meningkatkan value di pasar, dan memenuhi peraturan di masa depan. Rendahnya distribusi bangunan bersertifikasi ramah lingkungan di Jabodetabek menunjukkan adanya kesenjangan pasar yang perlu diperhitungkan,” terangnya.
Dia menilai sertifikasi hijau yang diperoleh tidak hanya untuk bangunan properti baru saja tetapi juga dapat diterapkan pada bangunan eksisiting yang diubah memenuhi standar ramah lingkungan.
Tren ini menghadirkan potensi bagi pengembang yang ingin mengakuisisi bangunan karena dapat meningkatkan nilai bangunan dengan menerapkan praktik berkelanjutan dan menarik lebih banyak penghuni seiring dengan meningkatnya permintaan akan ruang ramah lingkungan.
Selain itu, mengintegrasikan keberlanjutan ke dalam pembangunan dapat meningkatkan efisiensi operasional, mengurangi biaya pemeliharaan jangka panjang, dan meningkatkan daya jual suatu proyek, sehingga menjadikannya sebagai strategi investasi yang cerdas.
Dalam pasar semakin kompetitif, pengembang secara efektif mengintegrasikan keberlanjutan ke dalam proyek properti tidak hanya akan memenuhi standar peraturan namun juga menarik semakin banyak segmen konsumen yang memprioritaskan kehidupan ramah lingkungan.
“Pergeseran ini merupakan tantangan sekaligus peluang bagi pengembang untuk berinovasi dan menciptakan ruang yang mencerminkan nilai-nilai konsumen generasi baru sekaligus berkontribusi terhadap keberlanjutan lingkungan perkotaan di Indonesia secara keseluruhan,” tuturnya.
Dia menambahkan perlu dukungan pemerintah dalam meningkatkan properti keberlanjutan dengan desain ramah lingkungan yakni seperti pengurangan pajak.
“Apabila pengembang membangun gedung dengan konsep hijau maka dapat menerima insentif pajak. Ini akan menarik pengembang mengadopsi konstruksi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan,” ujar Rahmat.
Sementara itu, Direktur ESG Knight Frank Asia Pasifik dan Singapura Jackie Cheung menuturkan pasar gedung perkantoran hijau yang berkembang di Jakarta mengindikasikan peningkatan kesadaran dan penerapan prinsip-prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) di sektor properti.
Data dari Knight Frank Indonesia, gedung perkantoran bersertifikat hijau baik dari Green Building Council Indnesia (GBCI), Greenmark, Leadership In Energy and Environmental Design (LEED) hingga WELL, baru hanya 14% dari total luas lantai bruto (GFA) gedung perkantoran di CBD Jakarta mencapai 1.076.404 meter persegi. Permintaan akan ruang kerja berkelanjutan dinilai cukup stabil terutama untuk ruang perkantoran premium.
“Tingkat hunian gedung bersertifikat hijau menunjukkan perbedaan dibandingkan dengan gedung perkantoran konvensional sebanyak -3%. Namun, rerata pertumbuhan harga sewa untuk ruang kantor berkelanjutan ini secara signifikan lebih tinggi 25% hingga 30%,” katanya.
Perbedaan sewa ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti lokasi, usia bangunan, fitur smart technology, building specification, supporting facilities, amenities dan lainnya. Meskipun demikian, dia memproyeksikan tren gedung perkantoran hijau akan terus tumbuh seiring dengan matangnya pasar ESG.
“Sebagai contoh, pasar dari gedung perkantoran bersertifikat Breeam di Inggris mampu meningkatkan nilai properti bagi investor dan pemilik. Di London, gedung perkantoran dengan peringkat Breeam sangat baik, sangat baik sekali, dan luar biasa mengalami kenaikan sewa antara 3,7% sampai 12,3% dalam 10 tahun,” ucapnya.
Selain itu, juga terdapat peningkatan adopsi ESG di pasar perkantoran. Survei Knight Frank tahun 2023 menunjukkan investor Eropa dan Asia memprioritaskan efisiensi energi, penggunaan energi terbarukan, dan fasilitas pengisian kendaraan listrik (EV) saat mempertimbangkan akuisisi properti.
Adapun gedung perkantoran hijau di Jakarta umumnya dilengkapi dengan infrastruktur pengisian EV, integrasi energi terbarukan, dan sistem konservasi dan daur ulang air dan sampah, serta pemantauan konsumsi energi.
Dia menilai pertumbuhan pasar gedung perkantoran hijau di Jakarta membuktikan pelaku industri properti dan penyewa/occupier semakin sadar akan pentingnya ESG.
“Kami melihat minat yang meningkat pada bangunan yang tidak hanya ramah lingkungan tetapi juga memberikan manfaat sosial dan didukung oleh tata kelola yang kuat. Prestise juga menjadi nilai tambah dari gedung perkantoran berbasis ESG. Kami prediksikan tren ini akan terus berlanjut seperti pasar Asia Pasifik, karena semakin banyak perusahaan memasukkan ESG ke dalam strategi bisnis,” tutur Jackie.
Terpisah, Komite Tetap Riset Badan Pengembangan Kawasan Properti Terpadu (BPKPT) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Ignesjz Kemalawarta mengatakan pihaknya tengah mendorong gedung dan kawasan perumahan di Indonesia untuk dilakukan sertifikasi hijau. Adapun ditargetkan dalam 3 tahun mendatang akan ada 500an proyek properti yang tersertifikasi hijau.
“Kami coba meningkatkan jumlah sertifikasi dulu karena baru mencapai 305 proyek yang tersertifikasi, ini kalah dengan Singapura yang sudah 1.000an proyek. Kami terus sosialisasi dan Kadin pun akan meluncurkan panduan atau pedoman untuk real estat baik bagi pengembang kecil, menengah dan besar untuk membangun proyek properti dengan sertifikasi hijau,” ujarnya kepada Bisnis.
Menurutnya, masih sedikitnya jumlah proyek properti bersertifikat hijau di Indonesia karena kurangnya kesadaran akan pentingnya bangunan ramah lingkungan. Pasalnya, sebuah bangunan menyumbang emisi karbon sebesar 40%.
Selain itu, biaya konstruksi untuk membangun bangunan yang hijau dan ramah lingkungan mengalami kenaikan 3% hingga 4%. Namun, dalam jangka panjang kenaikan biaya konstruksi bangunan tersebut dikompensasi dengan efisiensi energi yang didapat selama umur bangunan 40 tahun.
Dia menerangkan bangunan standar yang tanpa sertifikasi hijau menggunakan kaca biasa yang tak dapat menghalau panas sehingga penggunaan pendingin ruangan (AC) akan semakin besar. Hal ini berbeda dengan bangunan hijau yang menggunakan kaca ganda low carbon yang harganya mahal namun dapat menghalau panas sehingga bisa menghemat energi.
“Banyak yang kesadarannya masih kurang, jadi green building itu akan ada biaya tambahan 3% hingga 4% konstruksinya, ini dirasa memberatkan pengembang. Namun kalau membangun green building, maka umur bangunan 40 tahun akan menikmati energy saving. Efisiensi energinya sekitar 30%,” kata Ignesjz.
BUTUH DUKUNGAN INSENTIF
Menurutnya, untuk mendorong jumlah bangunan yang tersertifikasi hijau, pemerintah harus memberikan insentif. Pasalnya, tanpa insentif akan sulit memperbanyak bangunan hijau. Hal ini karena biaya konstruksi bangunan hijau yang dikeluarkan di awal besar mencapai 4%.
“Malaysia, Singapura, Filipina, pemerintah memberikan insentif untuk memperbanyak bangunan bersertifikat hijau. Hanya Indonesia saja yang tidak ada insentif bangunan hijau. Singapura ada insentif pemberian uang, KLB (koefisien luas bangunan), dan lainnya,” ucapnya.
Dia menilai dengan adanya insentif, maka akan meningkatkan kesadaran akan bangunan bersertifikat hijau. Adapun insentif yang diharapkan dari pemerintah Indonesia bisa berupa uang, KLB, pajak, dan lain sebagainya.
“Misalnya kalau berupa uang bisa mengkompensasi kenaikan biaya konstruksi bangunan hijau. Lalu insentif pajak, pajak bumi dan bangunan (PBB) bisa diberikan diskon 30% selama 3 tahun untuk bangunan bersertifikat hijau ini lumayan. Kami terus mendorong agar insentif ini keluar,” tuturnya.
Ignesjz menambahkan dengan adanya sertifikasi bangunan hijau, pengembang pun bisa mendapatkan pendanaan hijau dari perbankan maupun lembaga pembiayaan lainnya. Dia mencontohkan salah satu proyek perumahan Sinar Mas Land mendapatkan sertifikasi greenship dari GBCI meraih pendanaan KPR hijau dengan tingkat bunga yang lebih rendah dari KPR biasanya.
Dalam proses mendapatkan sertifikasi hijau di proyek perumahan tersebut melalui 2 tahap yakni sertifikasi penilaian dan sertifikasi pengujian emisi karbon dari 5 material utama mulai dari energy saving, low carbon, waste management, water management, dan material bangunan.
“Memang dengan sertifikasi hijau bisa mendapatkan pembiayaan hijau seperti green bond, green mortgage, green home buyer. Saat ini paling mudah green home buyer karena syaratnya tidak banyak tapi bisa bermanfaat bagi konsumen, pengembang dan perbankan itu sendiri. Kalau green bond syaratnya banyak tapi yang didapat yang sedikit. Green financing masih omon-omon cukup panjang,” terangnya.
Ignezh tak menampik konsep hijau dan Environmental, Social, and Governance (ESG) memang mau tak mau harus diterapkan pebisnis baik dalam proses produksi maupun operasional menyusul makin meresahkannya pemanasan global dan perubahan iklim akibat emisi karbon dioksida (CO2) yang berlebihan. Hal ini berfokus dalam upaya mengurangi konsumsi energi agar bisa mereduksi gas rumah kaca ditambah reduksi konsumsi air, pengolahan sampah dan limbah.
“Pengembang tidak bisa hanya berorientasi profit karena profit tidak akan bisa dicapai kalau alamnya sudah rusak, dan sebaliknya. Pebisnis harus berpartisipasi mengurangi kerusakan alam itu,” ujarnya.