Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pasar Karbon Asia Terancam Kebijakan Tarif Trump

Kebijakan tarif Trump bisa menambah beban industri dan mengurangi ambisi untuk mengurangi emisi karbon, termasuk untuk menaikkan harga karbon
Ilustrasi perdagangan karbon
Ilustrasi perdagangan karbon

Bisnis.com, JAKARTA — Kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump berpotensi memperlambat adopsi dan ekspansi pasar karbon di kawasan Asia Pasifik. Pasar ini menyumbang tiga perlima emisi global dan menjadi pendorong utama pertumbuhan perdagangan karbon.

Mengutip Bloomberg, sistem perdagangan emisi di Asia Pasifik hanya mencakup 16% dari total gas rumah kaca global, meski berkembang pesat. Permintaan yang lemah dan likuiditas yang rendah membuat harga karbon di kawasan ini masih jauh dibandingkan dengan Eropa.

“Jika kebijakan perdagangan dan tarif Trump memperlambat pertumbuhan ekonomi di kawasan ini, tekanan politik untuk meningkatkan ambisi pengurangan emisi juga dapat melemah,” kata Szymon Mikolajczyk, mitra di Climate Focus, firma penasihat pasar karbon internasional.

Pemerintah di Asia tercatat makin bergerak untuk menerapkan harga karbon, sehingga sesuai dengan peraturan global yang lebih ketat seperti Mekanisme Penyesuaian Perbatasan Karbon (Carbon Border Adjustment Mechanism/CBAM) Uni Eropa.

Sementara itu, China dan Korea Selatan bakal memperluas sistem perdagangan emisi mereka dengan memasukkan lebih banyak sektor industri yang masuk kategori mencemari lingkungan.

Namun, harga karbon yang lebih rendah dan adopsi kebijakan yang lebih lambat dapat terjadi di Asia jika tarif Trump membebani perdagangan global, menurut Chia Chen, analis senior di Bloomberg Intelligence.

"Jika AS mengenakan lebih banyak tarif pada barang-barang Asia, akan sulit bagi negara-negara ini untuk menaikkan harga karbon—itu seperti menumpuk tarif di atas tarif," katanya. "Pada akhirnya, ini bisa melumpuhkan ekonomi mereka."

Penghasil emisi karbon terbesar, China, melalui Kementerian Ekologi dan Lingkungan berencana memperluas skema perdagangan emisinya (Emission Trading System/ETS) di luar sektor pembangkit listrik. Perdagangan akan mencakup industri semen, baja, dan aluminium pada 2025.

Pemerintah China juga telah memperkenalkan kebijakan lain, termasuk batas emisi yang lebih ketat bagi pembangkit listrik serta sanksi lebih berat bagi perusahaan yang memalsukan data.

Sementara itu, penghasil emisi terbesar ketiga India melalui Kementerian Lingkungan Hidup, Kehutanan, dan Perubahan Iklim merilis regulasi terperinci pada Juli untuk pasar di bawah Skema Perdagangan Kredit Karbon.

Skema yang dijadwalkan beroperasi penuh pada 2026 tersebut akan mencakup sembilan sektor, termasuk aluminium, semen, baja, dan petrokimia, dengan rencana ekspansi lebih lanjut.

Dari kawasan Asia Tenggara, Indonesia telah resmi membuka bursa karbon domestiknya bagi investor asing. Pemerintah Indonesia juga berencana menerapkan pajak karbon, dimulai dari sektor pembangkit listrik sebelum diperluas ke sektor transportasi.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper