Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Menghitung Dampak Ekonomi dari Ambisi Prabowo Perluas Perkebunan Sawit

Dampak implementasi kebijakan moratorium sawit dinilai mampu menciptakan kontribusi ekonomi pada 2045 dimana bertambah Rp28,9 triliun dan PDB Rp28,2 triliun.
Pekerja membawa tandan buah segar sawit usai panen di perkebunan milik PT Sahabat Mewah dan Makmur, Belitung Timur, Rabu (28/8/2024). / Bisnis-Annasa Rizki Kamalina
Pekerja membawa tandan buah segar sawit usai panen di perkebunan milik PT Sahabat Mewah dan Makmur, Belitung Timur, Rabu (28/8/2024). / Bisnis-Annasa Rizki Kamalina

Bisnis.com, JAKARTA — Instruksi Presiden Prabowo Subianto terkait perluasan kebun sawit baru atau ekstensifikasi lahan demi ambisi bioenergi dinilai sangat berisiko.

Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira mengatakan untuk meningkatkan produksi sawit bukan dilakukan dengan perluasan area perkebunan sawit.

“Jika masalah pak Prabowo ini soal produksi sawit, maka bukan dengan perluasan kebun sawit baru atau ekstensifikasi lahan. Masalah selama ini, produktivitas per lahan sawit yang rendah,” ujarnya dalam keterangan resmi diterima Bisnis, Senin (13/1/2025).

Menurutnya, rerata produksi sawit di Indonesia hanya mencapai 12,8 ton per hektare untuk tandan buah segar. Hal ini berbeda dengan Malaysia yang bisa mencapai 19 ton per hektare tandan buah segar.

“Selisihnya kan jauh sekali. Berarti solusinya intensifikasi lahan, masalah teknologi pertanian nya, pembibitan, sampai pupuk,” katanya.

Dia menilai instruksi presiden langsung perluasan kebun sawit dengan pembukaan lahan baru demi ambisi bioenergi sangat berisiko. Hal ini karena sawit Indonesia akan dijadikan pembenaran dari negara importir untuk tambah berbagai hambatan dagang baik tarif maupun non-tarif.

“Ini seolah pemerintah dukung perluasan kebun sawit meski ada risiko deforestasi. Saya kira itu blunder sekali. Apalagi era perang dagang, sawit Indonesia rentan jadi sasaran proteksionisme negara maju. Justru dengan adanya EUDR yang harus dipastikan itu kebun sawit nya tidak bertambah luas tapi tambah produktif,” tuturnya. 

Berdasarkan hasil perhitungan Celios, moratorium perluasan kebun sawit punya banyak manfaat. Dampak implementasi kebijakan moratorium sawit ditambah skema replanting dinilai mampu menciptakan kontribusi ekonomi pada 2045 dimana output ekonomi bertambah Rp28,9 triliun dan produk domestik bruto (PDB) senilai Rp28,2 triliun.

Selain itu, moratorium sawit juga berdampak pada kenaikan pendapatan masyarakat Rp28 triliun, surplus usaha Rp16,6 triliun, penerimaan pajak bersih Rp165 miliar, ekspor Rp782 miliar, pendapatan tenaga kerja Rp 13,5 triliun, dan penyerapan tenaga kerja 761.000 orang.

“Hasilnya jauh lebih positif dibanding skenario pembukaan kawasan hutan besar-besaran,” ujar Bhima. 

Sebelumnya, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengklaim terdapat potensi 20,6 juta hektare lahan hutan lindung dan produksi yang dapat digunakan untuk tanaman pangan dan energi.

“Ini hanya men-support terhadap apa yang dikerjakan Menteri Pertanian dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), yaitu dengan konsep hutan cadangan pangan dan energi. Kami telah mengidentifikasi dengan Menteri Pertanian, ada sekitar 20 juta hektare yang dapat digunakan,” katanya. 

Menurutnya, seluruh lahan hutan cadangan pangan dan energi adalah bagian dari proyek lumbung pangan atau food estate. Lokasinya tersebar di seluruh provinsi, bahkan di tingkat desa.

“Ada di seluruh provinsi, jadi itu akan menjadi lumbung pangan kecil. Tidak hanya food estate yang besar, namun bahkan bisa di desa. Ini menjadi bagian dari program swasembada pangan,” tutur Raja. 

Sementara itu, Koordinator Program LaporIklim Yoesep Budianto berpendapat persoalan lahan untuk hutan cadangan pangan dan energi seluas 20 juta hektare berisiko memperparah kerusakan lingkungan dan ketimpangan di tengah masyarakat. Menurutnya, pengelolaan lahan yang buruk malah mendatangkan petaka ekologis bagi masyarakat.

“Saat ini banyak sekali banjir bandang, kekeringan, atau tanah longsor yang terjadi di pusat proyek dan area sekitarnya.
Akhirnya, pihak yang paling menderita adalah masyarakat,” kata Yoesep.

Kepala Tani Center IPB Hermanu Triwidodo mengatakan kedaulatan pangan dapat dicapai tanpa program food estate.

“Sebenarnya tidak perlu menambah lahan untuk food estate. Dua hal utama yang dapat dilakukan adalah penguatan diversifikasi pangan dan menangani lahan-lahan kering di Indonesia,” ucapnya. 

Dia menilai diversifikasi pangan menggambarkan keberagaman konsumsi jenis pangan oleh masyarakat. Artinya, tidak terbatas hanya padi untuk mendapatkan asupan karbohidrat.

“Indonesia memiliki banyak sekali sumber karbohidrat, tidak terbatas hanya beras. Ada singkong, sagu, umbi, dan jagung. Itu semua tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia,” tutur Hermanu.

Untuk diketahui, Presiden Prabowo Subianto dalam pernyataan pada 30 Desember 2024 juga menyatakan Indonesia dapat menambah lahan perkebunan kelapa sawit yang dapat sebagai komoditas strategis.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Yanita Petriella
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper