Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kebijakan Prabowo soal Sawit, Program B40 dan Konsekuensi Lingkungan

Menimbang kontribusi sawit untuk perekonomian Indonesia dan mengorbankan komitmen negara dalam rangka memangkas emisi karbon.
Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto menghadiri sesi pertama Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Brasil yang berlangsung pada Senin, 18 November 2024. Foto: BPMI Setpres/Laily Rachev
Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto menghadiri sesi pertama Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Brasil yang berlangsung pada Senin, 18 November 2024. Foto: BPMI Setpres/Laily Rachev

Bisnis.com, JAKARTA - Pernyataan Presiden Prabowo Subianto terkait keberpihakannya terhadap sawit sukses menjadi perdebatan publik. Benarkah, dalam konteks ini pemerintah dianggap hanya mempertimbangkan aspek ekonomi daripada ekologis?

Pernyataan Kepala Negara seakan menegaskan pentingnya komoditas ini bagi perekonomian nasional. Di sisi lain, dianggap bertentangan dengan komitmen Indonesia untuk memangkas emisi. Dua anggapan tersebut memang bagai paradoks, apalagi melihat kepentingan-kepentingan yang ada di dalamnya. 

Analis Berkelanjutan dan Ketua Bidang Positif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Edi Suhardi menerjemahkan pernyataan Presiden Prabowo, di sela Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (30/12/24), sebagai bukti otentik bahwa kelapa sawit memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian Indonesia, menciptakan jutaan lapangan kerja, dan mengurangi kemiskinan di pedesaan. 

“Pernyataan Presiden Prabowo ini menjawab kontroversi dan stigma buruk perkebunan kelapa sawit Indonesia yang dikampanyekan pihak anti-sawit,” tulisnya dalam opini Menyikapi Peluang Ekspansi Perkebunan Sawit, 7 Januari 2024. 

Hanya saja, meski dengan mempertimbangkan swasembada energi nasional, pernyataan Kepala Negara juga berpotensi memicu dampak negatif, termasuk meningkatkan emisi dan membuat Indonesia semakin jauh dari cita-cita transisi energi.

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Iqbal Damanik menyatakan bahwa pembukaan hutan dengan alasan apapun sangat berbahaya dan merugikan. Aksi ini juga bertentangan dengan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi dan turut berkontribusi dalam menurunkan suhu bumi, sesuai dengan Perjanjian Paris yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang No 6 Tahun 2016.

“Artinya upaya membuka hutan dengan alasan ketahanan pangan, energi, dan sumber air adalah alasan yang dibuat-buat, ini semata-mata hanya akan menguntungkan segelintir orang dari industri kelapa sawit,” kata Iqbal dalam keterangan pers. 

Terlepas dari pertimbangan tersebut, kontribusi sawit dalam perekonomian nasional juga tidak kecil. Dari sudut pandang ketahanan energi, Fatty Acid Methyl Ester (FAME), yang merupakan turunan minyak sawit melalui proses transesterifikasi, mendukung transisi energi.

Program Biodiesel

Sebagai upaya mendorong transisi energi dan menekan impor BBM, pemerintah menggenjot penerapan biodiesel. Sejauh ini, Indonesia sukses menerapkan kebijakan biodiesel 30 persen (B30) dan biodiesel 35 persen (B35). Tercatat, mengacu data Kemenko Perekonomian, pada 2022 pemerintah dapat menghemat devisa hingga Rp122 triliun setelah penerapan B30. 

Adapun, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengklaim implementasi BBM jenis solar dengan campuran bahan bakar nabati B40 dapat menghemat devisa hingga Rp147,5 triliun pada 2025.

Selain aspek ekonomi yang ada, Kementerian ESDM juga mencatat program mandatori B40 juga telah memberikan manfaat signifikan di berbagai aspek sosial dan lingkungan. Hal ini termasuk peningkatan nilai tambah crude palm oil (CPO) menjadi biodiesel sebesar Rp20,9 triliun, penyerapan tenaga kerja lebih dari 14.000 orang (off-farm) dan 1,95 juta orang (on-farm), serta pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 41,46 juta ton CO2e per tahun.

Angka tersebut lebih besar dari penghematan devisa dari implementasi B35 sebelumnya yang mencapai Rp122,98 triliun. Dengan demikian, terjadi tambahan penghematan devisa sekitar Rp25 triliun dengan tidak mengimpor BBM jenis minyak solar.

Tidak hanya itu, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) ternyata punya hitung-hitungan lebih fantastis. Program B35 disebut mampu menghemat nilai devisa impor hingga Rp512,07 triliun, setidaknya dalam kurun waktu Januari - Agustus 2024. BPDPKS juga menyebut implementasi B35 juga telah mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 82,16 juta ton. 

Ekspansi Lahan Sawit

Di tengah optimisme program biodiesel, pemangku kepentingan juga dihadapkan dengan sejumlah tantangan, seperti fluktuasi harga CPO dunia hingga luasan lahan kelapa sawit. Praktisi lingkungan pun khawatir keberpihakan pemerintah erat kaitannya dengan rencana pengembangan lahan produksi kelapa sawit. 

Apalagi setelah Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni melontarkan pernyataan mengejutkan terkait rencana untuk memanfaatkan cadangan 20 juta hektare hutan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan energi. 

"Kami sudah mengidentifikasi 20 juta hektare hutan yang bisa dimanfaatkan untuk cadangan pangan, energi, dan air," katanya setelah rapat terbatas di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (31/12/24).

Manajer Kampanye Bioenergi Trend Asia Amalya Reza Oktaviani menjelaskan, rencana perluasan lahan sawit 20 juta Ha tidak menutup kemungkinan termasuk perluasan lahan sawit dalam konteks sebagai tanaman energi. Luasan ini jauh lebih besar dari yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 7/2021.

Beleid ini mengalokasikan 12,8 juta Ha hutan produksi konversi (HPK) sebagai cadangan energi dan pangan. Padahal, pembukaan hutan alam seluas 4,5 juta Ha saja untuk lahan energi atau pangan, akan melepaskan sebesar 2,59 miliar ton emisi karbon.

“Kementerian Kehutanan punya pekerjaan rumah untuk menuntaskan tata batas kawasan hutan. Jangan bicara soal perluasan sawit tidak akan menimbulkan deforestasi, kalau tata batas dan tata kelola kawasan hutan kita belum beres,” ujarnya. 

Policy Strategist Yayasan Indonesia Cerah Sartika Nur Shalati menegaskan pernyataan Presiden Prabowo yang menyebutkan sawit tidak akan menyebabkan deforestasi dianggap keliru. Pasalnya, kelapa sawit bersifat monokultur yang akan menghancurkan fungsi hutan sebagai ekosistem alami bagi keanekaragaman hayati, merusak tanah, dan sistem hidrologi.

Tak hanya itu, lanjutnya, perluasan lahan sawit juga akan mengancam lahan gambut yang berkontribusi sebagai penyerap emisi karbon alami. Padahal, luas ekosistem gambut Indonesia mencapai 24,66 juta ha, salah satu yang terluas di dunia. Dengan sekitar 3 juta ha (19%) perkebunan sawit berada di wilayah gambut, perluasannya akan menyebabkan lahan gambut kering dan meningkatkan potensi terjadinya kebakaran pada musim kemarau. 

“Emisi dari pembukaan hutan belum lagi ditambah emisi dari pembakaran sawit, baik sebagai biofuel di transportasi maupun biomassa di kelistrikan, akan memperparah krisis iklim. Di sektor energi, pemerintah perlu meninjau kembali kebijakan bioenergi, terutama dari bahan baku sawit dan kayu,” ujar Amalya.

Mengacu Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN), Indonesia mendorong pemanfaatan bioenergi sebagai energi terbarukan utama hingga 2040. Kemudian, dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim COP29, Indonesia juga menyatakan akan meningkatkan campuran biodiesel hingga 50 persen. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper