Bisnis.com, JAKARTA – Emisi karbon Indonesia diperkirakan bakal menembus 1,05 miliar ton CO2 ekuivalen per tahun pada 2060 jika pasokan energi nasional masih didominasi listrik bertenaga batu bara.
Direktur Manajemen Risiko PT PLN (Persero) Suroso Isnandar mengatakan bahwa dominasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) baru bara bisa menjadi ganjalan bagi target nol emisi bersih (net zero emission) 2060. Adapun emisi karbon sektor ketenagalistrikan saat ini menembus 310 juta ton CO2 ekuivalen.
“Dengan skenario business as usual di mana pasokan listrik didominasi dengan dukungan batu bara, maka emisi yang awalnya 310 juta ton CO2 per tahun, 2060 bisa mencapai 1,05 miliar ton setara CO2,” kata Suroso dalam Bisnis Indonesia Economic Outlook 2025, Selasa (10/12/2024).
Dia menambahkan transisi energi di sektor kelistrikan menjadi salah satu kunci dalam mencapai target NZE. Indonesia sendiri menargetkan tambahan energi sebesar 100 gigawatt (GW) dalam 15 tahun ke depan, dengan 75% di antaranya berasal dari sumber energi terbarukan.
Suroso memperinci target pengembangan bauran energi terbarukan tersebut mencakup tambahan 15 GW dari energi angin, energi surya sebesar 27 GW, biomassa 1 GW, hidro sebesar 25 GW dan nuklir 5 GW. Seiring dengan tambahan ini, Indonesia perlu mengurangi secara bertahap pemakaian energi berbahan bakar fosil, terutama batu bara.
“Pada 2060 harapannya emisi mencapai nol dengan cara mengurangi secara bertahap pasokan listrik dari PLTU batu bara. Pada detik ini, kita tidak boleh lagi membangun PLTU batu bara baru, meski ini masih terbuka untuk diskusi karena kekayaan terbesar kita adalah batu bara,” paparnya.
Baca Juga
PLN mengestimasi kebutuhan investasi untuk pengembangan energi terbarukan dalam 15 tahun ke depan mencapai US$235 miliar atau sekitar Rp4.000 triliun. Suroso mengemukakan kebutuhan investasi paling besar datang pada tahap awal pengadaan energi terbarukan untuk menggantikan batu bara.
“Kebutuhan terbesar adalah untuk menyediakan sumber energi yang menggantikan batu bara sebesar 33 GW. Kebutuhan investasinya mencapai US$80 miliar dalam 15 tahun ke depan,” kata dia.