Bisnis.com, JAKARTA — Emiten afiliasi Garibaldi ‘Boy’ Thohir, PT Alamtri Resources Indonesia Tbk. (ADRO), resmi mengalihkan fokus bisnisnya ke sektor mineral dan hijau, seiring dengan spin-off bisnis batu bara termal ke PT Adaro Andalan Indonesia (AADI).
Presiden Direktur dan Chief Executive Officer ADRO Garibaldi Thohir mengatakan bahwa ADRO tengah mengupayakan ekspansi strategis dan diversifikasi di segmen nonpertambangan batu bara. Hal ini bertujuan untuk menciptakan portofolio bisnis yang lebih seimbang dan mencapai target untuk menghasilkan sekitar 50% pendapatan dari nonbatu bara termal paling lambat pada 2030.
“Kami berpandangan bahwa langkah ini efektif untuk memaksimalkan kinerja PT Adaro Andalan Indonesia dan pilar bisnis nonbatu bara termal karena dapat memungkinkan masing-masing perusahaan untuk berfokus pada pengembangan kekuatan inti serta terus memanfaatkan sumber daya dan potensinya,” kata Garibaldi pada Oktober 2024.
Sebelum benar-benar melepas bisnis batu bara termalnya, bisnis pertambangan merupakan penyumbang emisi terbesar ADRO. Laporan berkelanjutan 2022 ADRO memperlihatkan lini bisnis pertambangan menyumbang total emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 1,07 juta ton CO2 ekuivalen pada tahun tersebut.
Sementara itu, mengacu pada laporan berkelanjutan 2023, total emisi yang berasal dari pembakaran bahan bakar (scope 1) pada 2022 menembus 1,06 juta ton CO2 ekuivalen. Volume tersebut meningkat menjadi 1,15 juta ton CO2 ekuivalen pada 2023.
Emisi yang berasal dari pembelian listrik juga tercatat naik dalam kurun 2022-2023, dari 2.867 ton CO2 ekuivalen menjadi 3.621 ton ekuivalen.
Baca Juga
ADRO dalam laporannya menyebutkan bahwa perusahaan juga melakukan upaya penyerapan karbon melalui sayap bisnis Adaro Land.
Adaro Land tercatat memiliki dua aset lahan hutan bernama PT Alam Sukses Lestari dengan proyek Restorasi Hutan Barito Lestari (BLFRP) seluas ±19.520 hektare (ha) dan PT Hutan Amanah Lestari yang menjalankan proyek Lahan Gambut Barito Lestari (BLPP) seluas ±25.804 ha.
Masing-masing lahan hutan tersebut memiliki izin yang berbeda, yaitu Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu–Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE) dan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon (IUP Rap/Pan Karbon).
Melalui aset lahan, ADRO tengah mengembangnya solusi berbasis alam melalui penangkapan emisi CO2 dan meminimalkan dampak emisi karbon dari rantai pasokan. Inisiatif ini diharapkan akan menghasilkan klaim kredit karbon rata-rata 1,3 juta ton CO2 -e per tahun untuk 10 tahun ke depan dan 2,4 juta ton CO2 ekuivalen per tahun untuk 30 tahun selanjutnya.
Berkaitan dengan spin-off AADI, perusahaan tersebut kini tengah dalam proses penawaran umum perdana saham atau initial public offering (IPO). AADI melepas sebanyak 778,6 juta saham, atau setara 10% dari total saham dicatatkan perseroan. Berdasarkan keterangan dari laman e-ipo, AADI akan menawarkan sebanyak 7,78 juta lot saham ke investor.
Tahap book building telah berlangsung pada 12 November 2024 hingga 18 November 2024 dengan harga penawaran di rentang Rp4.590-Rp5.900 per saham. Dengan demikian, nilai IPO ini berpotensi mencapai Rp3,57 triliun hingga Rp4,59 triliun.
Dalam prospektusnya, Adaro Andalan Indonesia menjelaskan memproduksi batu bara melalui anak usaha seperti PT Adaro Indonesia, PT Mustika Indah Permai, dan Balangan Coal. Untuk tambang Adaro Indonesia (AI), AADI menjelaskan AI telah memulai produksi komersial sejak Oktober 1992.
Total cadangan yang dimiliki AI mencapai 642 juta ton, dengan sumber daya mencapai 3,39 miliar ton pada akhir Juni 2024.
Per 30 Juni 2024, produksi batu bara AI mencapai 25,69 juta ton, naik 3% dari 24,98 juta ton pada periode yang sama tahun 2023. Pendapatan usaha dari AI ini mencapai US$2,14 miliar sampai 30 Juni 2024, dan mencapai US$4,92 miliar sepanjang tahun 2023.