Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Perubahan Iklim Berisiko Ganggu Pasar Tenaga Kerja, Bank Sentral Diminta Bertindak

Perubahan iklim mengancam pasar tenaga kerja global. Bank sentral didesak menyesuaikan kebijakan moneter untuk mengatasi risiko iklim dan menjaga stabilitas ekonomi.
Kekeringan yang melanda lahan pertanian Gandum di Qian, Xianyang, Provinsi Shaanxi, China, 29 Mei 2025./REUTERS-Florence Lo
Kekeringan yang melanda lahan pertanian Gandum di Qian, Xianyang, Provinsi Shaanxi, China, 29 Mei 2025./REUTERS-Florence Lo
Ringkasan Berita
  • Laporan CETEx dari LSE mengungkapkan bahwa perubahan iklim dapat mengganggu pasar tenaga kerja global jika bank sentral tidak menyesuaikan kebijakan moneternya.
  • Lebih dari 1,2 miliar pekerja di 182 negara berisiko terdampak oleh gangguan iklim, terutama di sektor yang terpapar panas tinggi seperti pertanian dan konstruksi.
  • Bank sentral didesak untuk mengintegrasikan risiko iklim dalam kebijakan mereka, dengan hanya 15 dari 114 bank sentral yang mencantumkan pekerjaan sebagai target utama atau sekunder.

* Ringkasan ini dibantu dengan menggunakan AI

Bisnis.com, JAKARTA — Laporan terbaru dari Centre for Economic Transition Expertise (CETEx), London School of Economics and Political Science (LSE), mengungkapkan bahwa perekonomian global berisiko mengalami guncangan pasar tenaga kerja apabila kebijakan moneter bank sentral tidak disesuaikan untuk menghadapi risiko iklim.

Studi tersebut menunjukkan bahwa pemanasan global, bahkan dalam skenario paling optimistis di mana kenaikan suhu berada pada kisaran 1,5–2 derajat Celsius, tetap akan menurunkan produktivitas tenaga kerja, terutama di sektor-sektor seperti pertanian, konstruksi, dan bidang lain yang memiliki paparan panas tinggi.

Dengan lebih dari 1,2 miliar pekerja di 182 negara yang berisiko terdampak oleh gangguan iklim, para peneliti CETEx mendesak otoritas moneter untuk lebih serius memperhitungkan risiko lingkungan, baik yang bersifat fisik seperti bencana alam, maupun risiko transisi menuju ekonomi hijau.

“Penelitian kami menunjukkan bahwa bank sentral perlu mengintegrasikan risiko iklim terhadap pekerjaan dalam kebijakan dan operasional mereka,” ujar Joe Feyertag, senior policy fellow di CETEx dan penulis laporan tersebut, dikutip dari Reuters, Kamis (24/7/2025).

Bank Sentral Eropa (European Central Bank/ECB) dan Bank of England sebelumnya telah menyoroti bahaya perubahan iklim terhadap inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas sektor perbankan.

Namun, The Fed yang dianggap sebagai bank sentral paling berpengaruh di dunia justru keluar dari jaringan otoritas finansial yang berfokus pada isu iklim pada awal tahun ini. Langkah tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai sejauh mana komitmen lembaga itu terhadap isu iklim.

Laporan ini turut menemukan bahwa negara-negara maju justru paling rentan terhadap risiko yang timbul dari transisi menuju ekonomi rendah karbon. Sebaliknya, wilayah-wilayah yang lebih miskin di Afrika, Asia, dan Amerika Latin menghadapi risiko fisik yang lebih besar seperti banjir dan kekeringan.

Risiko yang berbeda tersebut, dikombinasikan dengan perubahan demografi dan kebijakan imigrasi yang makin ketat, diperkirakan akan menambah tekanan pada pasar tenaga kerja di negara maju, tetapi justru memberikan pelonggaran di negara berkembang.

Feyertag juga memperingatkan bahwa gangguan di pasar tenaga kerja bisa memperparah ketimpangan sosial, terutama di negara-negara yang memiliki pasar tenaga kerja yang kaku atau kurang fleksibel.

Dalam kondisi pasar kerja yang ketat, inflasi cenderung meningkat, dengan asumsi faktor lain tetap. Produktivitas yang rendah juga dapat berkontribusi terhadap tekanan inflasi yang tinggi.

Feyertag meninjau mandat dari 114 bank sentral dan menemukan bahwa hanya 15 di antaranya yang secara eksplisit mencantumkan pekerjaan sebagai target utama atau sekunder. The Fed dan Reserve Bank of Australia termasuk di antara bank sentral yang menjadikan lapangan kerja sebagai sasaran inti kebijakan.

Hal ini memberikan landasan hukum bagi bank-bank tersebut untuk mengambil tindakan yang lebih berani guna meredam dampak perubahan iklim terhadap pasar tenaga kerja.

“Jika mandatnya memungkinkan, bank sentral bahkan dapat mengambil langkah lebih aktif untuk mendorong permintaan terhadap tenaga kerja di sektor rendah karbon atau sektor yang tahan terhadap iklim, sehingga dapat memperhalus transisi ini,” ujar Feyertag.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Sumber : Reuters
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro