Bisnis.com, JAKARTA — Perusahaan energi terkemuka asal Singapura dan Malaysia sepakat untuk mengeksplorasi peluang impor energi terbarukan dari Vietnam. Kesepakatan ini dicapai seiring dengan ambisi negara-negara Asia Tenggara untuk mengintegrasikan jaringan listrik di kawasan (regional supergrid).
Melalui kerja sama ini, Malaysia yang diwakili oleh MY Energy Consortium, sebuah konsorsium yang dibentuk oleh Tenaga Nasional Berhad (TNB) dan Petroliam Nasional Berhad (Petronas), akan bekerja sama dengan konsorsium yang terdiri atas PetroVietnam Technical Services Corporation (PTSC), Energy Group (Petrovietnam) dan anak usaha Sembcorp Industries yakni Sembcorp Utilities Pte Ltd.
Konsorsium ini nantinya bakal mengeksplorasi potensi energi terbarukan Vietnam, terutama energi bertenaga bayu atau angin lepas pantai (offshore), sebagai sumber energi hijau yang bisa dipasok ke negara tetangga.
Kelayakan ekspor energi terbarukan dari Vietnam ke Singapura dan Malaysia melalui kabel bawah laut juga bakal dinilai dalam konsorsium ini. Nantinya, infrastruktur tersebut diharapkan dapat terintegrasi dengan jaringan listrik di Semenanjung Malaysia.
“Konsorsium ini akan bekerja sama dengan otoritas pemerintahan yang relevan selama proses pengembangan, termasuk untuk perizinan dalam berbagai tahap,” tulis Sembcorp Industries dalam siaran pers, Senin (26/5/2025).
Kesepakatan ini dicapai seiring dengan ditetapkannya target di antara negara-negara Asean untuk saling menghubungkan jaringan listrik di kawasan. Integrasi jaringan energi terbarukan di Asia Tenggara dinilai penting karena bakal menentukan target iklim kawasan, terlebih dengan kebutuhan energi yang terus meningkat karena perkembangan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dan pusat data.
Baca Juga
Laporan terbaru lembaga think tank Ember bertajuk “From AI to emissions: Aligning ASEAN's digital growth with energy transition goals” mengungkap bahwa bahan bakar fosil masih mendominasi pemenuhan listrik di kawasan, terutama di tengah pertumbuhan bisnis pusat data.
Di Asean, Malaysia yang memegang rekor pertumbuhan pusat data tertinggi diperkirakan mengalami lonjakan permintaan listrik dari 8,5 Terawatt hour (TWh) pada 2024 menjadi 68 TWh pada 2030. Kondisi ini diperkirakan diikuti kenaikan emisi tujuh kali lipat dari 5,9 juta ton CO2e menjadi 40 juta ton CO2e pada 2030.
Indonesia sendiri menempati peringkat kedua dengan kenaikan permintaan listrik akibat pertumbuhan bisnis pusat data. Yakni dari 6,7 TWh pada 2024 menjadi 26 TWh pada 2030. Sementara itu, Filipina di peringkat ketiga diprediksi mengalami pertumbuhan konsumsi listrik dari 1,1 TWh pada 2024 menjadi 20 TWh pada 2030 dan lonjakan emisi hingga 14 kali lipat dari 0,8 MtCO2e menjadi 10,5 MtCO2e di jaringan listrik Luzon-Visayas.
“Pertumbuhan pusat data membebani sistem kelistrikan di Asean, di mana sebagian besar listrik berasal dari batu bara dan gas. Meningkatkan energi terbarukan dan modernisasi infrastruktur melalui investasi dan kolaborasi regional menjadi kunci untuk memastikan pertumbuhan berkelanjutan dan memajukan transisi energi,” kata Pritesh Swamy, Head of Data Centre Research & Insights Asia Pacific Cushman & Wakefield.
Meski demikian, Ember mengungkapkan bahwa negara-negara Asean masih berpeluang menghijaukan bisnis pusat data di wilayahnya. Setidaknya 30% kebutuhan listrik pusat data pada 2030 dapat dipenuhi dari listrik surya dan angin, bahkan tanpa baterai–yang dianggap penghalang terbesar adopsi energi bersih. Dengan dukungan kebijakan, Asean dapat melistrikan pertumbuhan pusat data tanpa menaikkan emisi.