Bisnis.com, JAKARTA — Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan bahwa keuntungan ekonomi dari kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) akan meningkatkan output ekonomi global sekitar 0,5% per tahun antara 2025 dan 2030. Potensi itu melebihi biaya lingkungan yang timbul akibat lonjakan emisi karbon dari pusat data yang menopang teknologi tersebut.
Laporan IMF yang dirilis dalam Pertemuan Musim Semi tahunan di Washington pada Selasa (22/4/2025) menyoroti bahwa pertumbuhan ekonomi tersebut tidak akan merata secara global. Oleh karena itu, IMF turut mendesak pembuat kebijakan serta pelaku usaha untuk meminimalkan dampaknya terhadap masyarakat luas.
"Meski tantangan seperti kenaikan harga listrik dan emisi gas rumah kaca tetap ada, keuntungan terhadap PDB global dari AI kemungkinan besar akan melampaui biaya yang timbul dari kenaikan emisi," tulis laporan bertajuk Power Hungry: How AI Will Drive Energy Demand sebagaimana dikutip dari Reuters, Rabu (23/4/2025)
Namun, laporan itu juga memperingatkan bahwa peningkatan emisi tetap menjadi kekhawatiran, terutama di tengah risiko lonjakan permintaan pemrosesan data atau data center (pusat data) seiring dengan meluasnya adopsi AI.
IMF mencontohkan kawasan Virginia Utara, Amerika Serikat, yang kini menjadi lokasi pusat data terbesar dunia. Luas ruang server di sana setara dengan delapan gedung Empire State.
Selain itu, kebutuhan listrik global akibat AI bisa melonjak lebih dari tiga kali lipat menjadi sekitar 1.500 terawatt-jam (TWh) pada 2030. Volume itu setara dengan konsumsi listrik India saat ini, dan 1,5 kali lebih tinggi daripada proyeksi permintaan energi untuk kendaraan listrik.
Baca Juga
Adapun jejak karbon dari peningkatan adopsi AI akan sangat bergantung pada kemampuan perusahaan teknologi memenuhi komitmen mereka mengurangi emisi melalui penggunaan energi terbarukan dan solusi lainnya.
IMF memperkirakan bahwa peningkatan adopsi AI akan menyebabkan kenaikan kumulatif emisi gas rumah kaca global sebesar 1,2% selama 2025–2030, jika kebijakan energi tetap seperti sekarang. Jika diterapkan kebijakan energi yang lebih hijau, kenaikan emisi bisa dibatasi pada 1,3 gigaton.
Dengan asumsi biaya dampak sosial sebesar US$39 per setiap ton tambahan emisi yang dihasilkan, IMF menaksir total biaya tambahan mencapai antara US$50,7 miliar hingga US$66,3 miliar. Angka itu lebih kecil dibandingkan dengan proyeksi keuntungan ekonomi yang timbul dari penambahan output sebesar 0,5% dari adopsi AI.
Sementara itu, analis independen menekankan bahwa dampak ekonomi dan lingkungan AI sangat bergantung pada bagaimana teknologi ini digunakan, terutama dalam aspek pemanfaatan AI untuk efisiensi energi atau mendukung pola konsumsi yang lebih berkelanjutan.
Grantham Research Institute on Climate Change and the Environment menyatakan bahwa AI bahkan dapat menurunkan emisi karbon secara keseluruhan, tetapi jika teknologinya digunakan mempercepat kemajuan teknologi rendah karbon di sektor energi, pangan, dan transportasi.
“Namun, kekuatan pasar saja tidak cukup untuk mendorong pemanfaatan AI demi aksi iklim,” kata peneliti kebijakan Grantham, Roberta Pierfederici.
“Pemerintah, perusahaan teknologi, dan sektor energi harus berperan aktif untuk memastikan AI digunakan secara sengaja, adil, dan berkelanjutan,” tegasnya, sambil menekankan pentingnya pendanaan R&D dan kebijakan yang mengatasi ketimpangan akibat kemajuan AI.