Bisnis.com, JAKARTA – Laporan terbaru Institute for Essential Services Reform (IESR) mengenai perkembangan transisi energi Indonesia “Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2025” mengungkap bahwa realisasi janji pemerintah mengurangi emisi dan meningkatkan energi terbarukan masih jauh dari harapan.
Hasil minim tersebut setidaknya tecermin dari bauran energi fosil yang terus naik, dengan pasokan listrik dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) mencapai level tertinggi dalam lima tahun terakhir. Di sisi lain, pertumbuhan energi terbarukan jauh lebih rendah dari target.
IESR mencatat bahwa sejak Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 yang diklaim sebagai RUPTL hijau diluncurkan, sebagian besar proyek pembangkit energi terbarukan yang harus dieksekusi 2021-2025 belum dilelang, dikonstruksi dan beroperasi. Hingga 2024, capaian target bauran energi terbarukan hanya berkisar di 13,% dari target semula 23% pada 2025.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengungkapkan transisi energi pada 2024 masih dalam tahap konsolidasi sebagai hasil pergantian kepemimpinan nasional dengan target dan prioritas baru dan kondisi ketidakpastian ekonomi global dan Indonesia.
Berdasarkan pengukuran kesiapan bertransisi (Transition Readiness Framework/TRF) yang dikembangkan IESR sejak 2022, konsistensi kebijakan dan kepemimpinan dipandang para pelaku bisnis sebagai salah satu penghambat terbesar dalam agenda transisi energi di Indonesia.
Hal yang sama juga terpantau di TRF 2024 di mana meskipun terjadi kemajuan signifikan dalam daya saing biaya teknologi dan bahan bakar rendah karbon, transisi energi masih terhambat oleh kurangnya komitmen politik, regulasi yang kurang menarik, dan tata kelola yang tidak mendukung.
Fabby menyebut 2025 menjadi titik kritis untuk merumuskan strategi dan kebijakan yang reformatif untuk mempercepat transisi energi yang adil dan efisien. Ia juga menyinggung strategi pemerintah yang cenderung berfokus pada teknologi penyimpanan dan penangkapan karbon (CCS/CCUS) yang belum matang, mahal dan berisiko, dibandingkankan teknologi energi surya, dan angin, serta battery atau penyimpan energi yang sudah tersedia di pasar dan harganya semakin kompetitif.
“Presiden Prabowo Subianto dalam forum KTT G20 Brazil menyatakan bahwa Indonesia akan mengakhiri PLTU batu bara pada 2040. Misi ini bukanlah hal yang mustahil jika dilengkapi dengan upaya melakukan reformasi kebijakan, regulasi besar-besaran dan perencanaan sistem ketenagalistrikan yang terpadu, sehingga dapat memastikan ketahanan energinya dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi 8% seperti yang dicita-citakan,” kata Fabby dalam peluncuran IETO 2025, Kamis (5/12/2024).
IESR menilai transisi energi di Indonesia berada di persimpangan jalan antara tetap mengakomodasi kepentingan ekonomi dan politik dari industri fosil, atau segera beralih ke energi terbarukan dan membangun ekonomi rendah karbon.
Selain itu, keragu-raguan dalam menentukan arah dan laju transisi energi dinilai dapat mengancam pencapaian target net zero emission (NZE) sebelum 2050, seperti yang ditargetkan oleh Presiden Prabowo dalam pernyataannya pada KTT G20 di Brasil, sekaligus melemahkan peluang Indonesia menjadi pemain utama di pasar energi terbarukan global.