Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia Carbon Capture and Storage Center (ICCSC) menyampaikan adanya potensi investasi senilai US$38 miliar dolar AS atau sekitar Rp640,79 triliun (kurs Rp16.862,90 per dolar AS) untuk pengembangan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture and storage/CCS) di wilayah Laut Jawa yang sedang dievaluasi oleh Pertamina dan ExxonMobil.
Executive Director ICCSC Belladona Troxylon Maulianda mengatakan potensi investasi ini berasal dari berbagai perusahaan dan ditargetkan dimulai pada 2030.
"[Investasi] ini dari berbagai perusahaan, dari multinational companies dan juga national companies [BUMN], itu salah satu investasinya adalah dari Exxon," kata Belladona dalam konferensi pers CCS Forum 2025 di Jakarta, Senin (21/4/2025), dikutip dari Antara.
Dia memaparkan bahwa Indonesia memiliki potensi penyimpanan CO₂ yang bisa mencapai 200 tahun. Potensi ini tidak hanya untuk menampung emisi domestik, tetapi juga dari negara-negara tetangga.
Lebih dari itu, rantai pasok dari CCS hub ini diproyeksikan mampu menciptakan hingga 170.000 lapangan kerja setiap tahunnya dan meningkatkan produk domestik bruto (PDB) sebesar 0,8% sampai dengan 1%. Hal ini menjadikan CSS sebagai peluang ekonomi yang signifikan di tengah tantangan iklim global.
"Nanti [CCS] menciptakan infrastruktur ya, infrastruktur ini menciptakan lapangan kerja atau membutuhkan tenaga-tenaga ahli, lapangan pekerjaan itu bisa sekitar 170.000 lapangan kerja per tahunnya, mulai dari sektor konstruksi, teknik hingga pengawasan yang akan kita sebutnya MRV [Monitoring Reporting and Verification]," terangnya.
Baca Juga
Meski demikian, Belladona tak menampik bahwa CCS merupakan teknologi yang menuntut investasi besar. Oleh karena itu, kolaborasi antara sektor publik dan swasta menjadi kunci.
“Ini adalah teknologi yang membutuhkan investasi yang cukup besar. Jadi itu merupakan salah satu tantangannya, dan ini kita belajar dari negara-negara leading countries lain seperti Norwegia dan AS,” jelasnya.
Ia menyebutkan kerja sama Pertamina dan Exxon sebagai contoh konkret dari kolaborasi strategis dalam menciptakan CCS hub yang berpotensi menjadi rujukan di kawasan.
Lebih lanjut, Belladona menuturkan bahwa Indonesia sejatinya memiliki keuntungan strategis dengan keberadaan industri hilir seperti petrokimia, baja dan semen. Sektor-sektor tersebut sulit untuk didekarbonisasi meskipun sudah menerapkan elektrifikasi atau energi terbarukan.
“Walaupun mereka melakukan elektrifikasi, mengganti mobil misalnya dengan mobil listrik atau mengganti bahan bakar dengan biofuel dan sebagainya, mereka masih menghasilkan emisi yang cukup tinggi. Jadi tentunya mereka harus melakukan dekarbonisasi lainnya dan secara volume, berdasarkan teknologi dan sains, CCS itu paling besar yang bisa mereduksi volumenya,” kata Belladona.
Ia menambahkan tren global saat ini menuntut produk untuk mengurangi jejak karbon. Bahkan negara-negara Uni Eropa bakal menerapkan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) pada 2026 yang mewajibkan seluruh produk impor memiliki emisi rendah.
“Jadi semua barang-barang yang diimpor Uni Eropa harus rendah karbon, kalau tidak mereka akan mengenakan pajak atau bisa sama sekali tidak bisa masuk ke Uni Eropa. Jadi itu adalah peluangnya,” kata dia.
Selain itu, peluang juga muncul dari sektor pupuk. Menurutnya, Indonesia berpotensi besar menghasilkan blue ammonia, yaitu amonia yang emisinya telah ditangkap dan disimpan melalui CCS. Produk ini diminati oleh pasar luar negeri seperti Jepang untuk digunakan dalam pembangkit listrik rendah emisi.
“[Blue ammonia] untuk pembangkit yang akan menghasilkan emisi lebih bersih. Kita sebenarnya co-firing power plant, dan ini sudah ada beberapa pembangkit-pembangkit di luar negeri seperti Jepang yang ingin membeli blue ammonia,” jelas Belladona.